Minggu, 01 November 2020

Kendalikan atau Turuti?🤔

Hawa nafsu adalah sumber kerusakan dan keburukan, sebagaimana firman Allah,


"...dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (QS. Al-Kahfi: 28)


Hawa nafsu tidak berdiri sendiri dalam melakukan suatu kerusakan dan keburukan kecuali disertai dengan kebodohan. Sebab jika ia mengetahui bahwa sesuatu itu berbahaya dan berdosa untuk dilakukan, maka secara otomatis ia akan menolak untuk mengerjakan hal tsb. Karena Allah telah menjadikan dalam jiwa kecintaan terhadap apa yang mendatangkan manfaat dan membenci sesuatu yang mendatangkan mudharat dan kerusakan. Jika seseorang melakukan sesuatu yang membuat kemudharatan, maka hal itu disebabkan oleh kelemahan pikirannya.


Banyak di zaman sekarang orang² menjadi budak bagi hawa nafsunya (na'udzubillah). Merasa melakukan perbaikan di bumi, namun nyatanya kerusakanlah yang diperbuat. Karena apa? Karena mereka senantiasa menuruti hawa nafsunya. Asal mula yang menjerumuskan manusia kpd keburukan adalah kebodohan, karena dengan ketiadaan ilmu, maka hal itu akan membawanya kepada bahaya dan suatu kerusakan yang lebih besar. 


Setan selalu membuat indah suatu hal yang jelek, dan menyuruh untuk melakukannya serta menyebutkan kebaikan² yang terdapat padanya, tetapi tidak menyebutkan bahaya atau kerusakan yang akan terjadi. Sebagaimana yang ia lakukan pada Adam dan Hawa. Oleh karena itu Allah berfirman seraya mengingatkan,


"Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Rabb Yang Maha Pemurah (Al Quran), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sungguh, mereka (setan-setan itu) benar-benar menghalang-halangi mereka dari jalan yang benar, sedang mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk." (QS. Az-Zukhruf: 36-37)


Awal mula penyesalan, kehinaan, dosa dan penyakit yang hinggap pada manusia sejak awal ia diciptakan hingga hari kiamat ialah datang dari yang namanya HAWA NAFSU.


Kita kerap kali menisbatkan segala keburukan pada setan, iblis, dan agen eksternal lainnya. Padahal kata Imam Al-Ghazali, sumber segala perbuatan tidak baik itu justru ada pada diri kita sendiri. 


Maksiat mula-mula yang dilakukan oleh Iblis sendiri adalah nafsunya; takabur dan hasud. Singkatnya, sumber keburukan itu adalah agen internal, sesuatu yang ada di dalam diri kita sendiri.


Iblis pun beribadah. Kata Al-Ghazali, Iblis beribadah selama delapan puluh ribu tahun. Tapi nafsunya itulah yang kemudian menyeret dia pada jurang kesesatan. Nafsu juga yang kemudian membuat Nabi Adam dan Ibunda Hawa terperdaya. Contoh yang sama bisa juga dijumpai dalam kisah Qabil dan Habil serta Harut dan Marut (dua malaikat yang diberikan hawa nafsu oleh Allah).


Hematnya, inilah penjelasan Imam Al-Ghazali yang penting untuk diinternalisasi. Bahwa nafsu tidak mungkin dihilangkan dari diri manusia. Bahkan, nafsu itu sendiri adalah motor penggerak. Maka hal yang paling mungkin bisa dilakukan adalah mengendalikan nafsu serta menahan diri agar kita tidak dikuasainya.


Tentu saja itu bukanlah perkara mudah. Menahan diri untuk tidak berlaku konsumtif ketika ada banyak saldo tersedia tentu tak mudah. Ibu-ibu (termasuk sebagian besar bapak-bapak) yang kebetulan tidak bisa keluar rumah, bukan berarti pasif berbelanja. Tinggal klik “oke” beberapa menit kemudian barang sampai di rumah. Mudah dan sederhana.


Kalaulah nafsu itu diumpamakan seperti binatang buas atau kuda binal yang liar, maka ada tiga cara mengendalikannya menurut Imam Al-Ghazali, yaitu sebagai berikut:


Pertama, mengekang atau mencegah keinginan (man’us syahwat). Kuda yang binal akan tak berdaya jika dikurangi makannya. Ini tentu saja hanya perumpamaan. Pointnya pada pengendalian diri. Lagi-lagi ini masalah yang bersifat internal. 


Manusia kerap memprioritaskan keinginan meski sesungguhnya itu bukanlah kebutuhannya. Inilah sesungguhnya cikal bakal kerusakan yang terjadi pada diri manusia. Nafsu karenanya harus terlebih dahulu dikendalikan dengan cara mengekang keinginan.


Kedua, bebani dengan ibadah. Karena keledai yang dibebani banyak dan dikurangi makannya, akan tunduk dan menurut. Sekali lagi ini juga tamsil atau perumpamaan. Makna kontekstualnya kira-kira begini; kita perlu mentarget diri dengan sesuatu yang berguna, untuk kita sendiri maupun orang lain (yang kedua tentu lebih baik). Seorang dosen perlu membuat target misalnya dalam satu minggu harus membuat 5-10 paper. Atau seorang siswa yang menargetkan hafalan qur'annya sebulan mencapai 1-2 Juz.


Pembebanan seperti inilah yang dimaksud Imam Al-Ghazali. Mengendalikan nafsu salah satunya bisa dengan cara membebani diri dengan target-target tertentu. Sehingga, tidak ada lagi waktu yang terbuang sia-sia. Tidak lagi tersisa ruang bagi nafsu untuk menyelinap dan melambungkan keinginan-keinginan yang tidak perlu.


Ketiga, meminta petunjuk kepada Allah. Memaknai hal ini sebagai bentuk kerendah-hatian manusia. Setelah berikhtiar kemudian tawakkal. Karena Allah yang punya kuasa atas segala-galanya.


Jadii kesimpulannya ada pada diri kita masing-masing....


Mau mengikuti hawa nafsu lalu melakukan kerusakan dan terjebak dilingkaran setan di neraka selamanya?


Atau mengikuti sumber ilmu yang telah dibawa Al-Qur'an dan sunnah nabi lalu menjadi ahlul jannah untuk selamanya?


Chose your Path!!!



"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang." (QS.Yusuf: 53)


اللَّÙ‡ُÙ…َّ Ø¥ِÙ†ِّÙŠ Ø£َعُوذُ بِÙƒَ Ù…ِÙ†ْ Ù…ُÙ†ْÙƒَرَاتِ الأَØ®ْلاَÙ‚ِ ، ÙˆَالأَعْÙ…َالِ ، ÙˆَالأَÙ‡ْÙˆَاءِ




Jangan shalih sendiri, sharee yaa ^_^

Share: