Rabu, 02 Desember 2020

Allah Akan Menyembuhkan Sakit Hatimu

 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Ada pelajaran penting tentang keadaan emosional kita. Tentang hati dan bagaimana cara sembuhnya.


Ada orang yang mengaku punya masalah kemarahan dan tidak bisa mengatasinya. 

Orang yang lain merasa kecewa, depresi, dan bingung bagaimana menyembuhkannya. 


Beberapa orang lain lagi merasa terluka karena bertengkar dengan teman atau saudara. Sampai-sampai tidak mau mendengar nama mereka lagi.


“When you say their name I get upset. I can even think about that person. And just makes me angry.”


Isu seperti ini marak terjadi. Dan orang yang mengalaminya merasa hatinya terluka dan tidak bisa disembuhkan.


“Aku tau dia sudah menyesali perbuatannya. Aku tahu dia sudah berubah. Tapi aku tidak bisa melupakan apa yang terjadi”. Kurang lebih seperti itu.


Bicara masalah terluka, Ibu Musa pun terluka ketika harus melarung anaknya ke sungai. 


Bayi Musa dihanyutkan, perlahan hilang dari pandangan. Dan sejak saat itu Ibu Musa tahu bahwa bayi ini tidak akan kembali kepadanya.


Bukankah peristiwa ini melukai Ibu Musa? Pasti ini memberi trauma tersendiri, apalagi bagi seorang wanita. 


Secara normal, kita bisa bilang bahwa ia tidak akan sembuh setelah kejadian itu.

Tapi Allah campur tangan dalam masalah ini dan langsung menyembuhkan Ibu Musa. Immediately.


Coba dilihat QS Al-Qashash:10. Pelajaran apa yang dapat diambil dari kisah ibunda Nabi Musa ‘Alaihis salaam? Di sanalah Allah langsung mengukuhkan hati Ibu Musa.


Immediately Allah gave rabth to her Qalb


Selanjutnya, ada yang menarik dari fenomena ‘pengukuhan hati’ ini. Rabth tidak hanya berlaku untuk qalb para nabi.


Apakah Ibu Musa adalah seorang nabi?

Atau pemuda Ashabul Kahfi, di QS Al-Kahfi:14, ada kata rabth pada وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ .


Apakah mereka adalah para nabi? Bukan juga.


Dari ayat ini Allah menenangkan, menguatkan, dan menyembuhkan hati siapa saja. Bukan hanya hati para nabi. 


Allah punya campur tangan terhadap kita dan hati kita.


Allah datang ke hati kita dan menyembuhkannya. 


وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ ٱلْمَرْءِ وَقَلْبِهِ


Allah berfirman bahwa Dia punya andil dan campur tangan terhadap hati kita. 


Dengan kata lain, Allah sangat mampu untuk membuat kita maju, merelakan masa lalu, menyembuhkan luka lama, dan kita bisa melanjutkan hidup. 


Jadi, yang sedang sakit hati, harus yakin ya, Allah Maha Menyembuhkan Hati kita 😊


 Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbunaa 'alaa diinik, wa tho'aatik




Jangan Shalih sendiri, Share yaa ^_^


Share:

Minggu, 01 November 2020

Kendalikan atau Turuti?🤔

Hawa nafsu adalah sumber kerusakan dan keburukan, sebagaimana firman Allah,


"...dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (QS. Al-Kahfi: 28)


Hawa nafsu tidak berdiri sendiri dalam melakukan suatu kerusakan dan keburukan kecuali disertai dengan kebodohan. Sebab jika ia mengetahui bahwa sesuatu itu berbahaya dan berdosa untuk dilakukan, maka secara otomatis ia akan menolak untuk mengerjakan hal tsb. Karena Allah telah menjadikan dalam jiwa kecintaan terhadap apa yang mendatangkan manfaat dan membenci sesuatu yang mendatangkan mudharat dan kerusakan. Jika seseorang melakukan sesuatu yang membuat kemudharatan, maka hal itu disebabkan oleh kelemahan pikirannya.


Banyak di zaman sekarang orang² menjadi budak bagi hawa nafsunya (na'udzubillah). Merasa melakukan perbaikan di bumi, namun nyatanya kerusakanlah yang diperbuat. Karena apa? Karena mereka senantiasa menuruti hawa nafsunya. Asal mula yang menjerumuskan manusia kpd keburukan adalah kebodohan, karena dengan ketiadaan ilmu, maka hal itu akan membawanya kepada bahaya dan suatu kerusakan yang lebih besar. 


Setan selalu membuat indah suatu hal yang jelek, dan menyuruh untuk melakukannya serta menyebutkan kebaikan² yang terdapat padanya, tetapi tidak menyebutkan bahaya atau kerusakan yang akan terjadi. Sebagaimana yang ia lakukan pada Adam dan Hawa. Oleh karena itu Allah berfirman seraya mengingatkan,


"Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Rabb Yang Maha Pemurah (Al Quran), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sungguh, mereka (setan-setan itu) benar-benar menghalang-halangi mereka dari jalan yang benar, sedang mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk." (QS. Az-Zukhruf: 36-37)


Awal mula penyesalan, kehinaan, dosa dan penyakit yang hinggap pada manusia sejak awal ia diciptakan hingga hari kiamat ialah datang dari yang namanya HAWA NAFSU.


Kita kerap kali menisbatkan segala keburukan pada setan, iblis, dan agen eksternal lainnya. Padahal kata Imam Al-Ghazali, sumber segala perbuatan tidak baik itu justru ada pada diri kita sendiri. 


Maksiat mula-mula yang dilakukan oleh Iblis sendiri adalah nafsunya; takabur dan hasud. Singkatnya, sumber keburukan itu adalah agen internal, sesuatu yang ada di dalam diri kita sendiri.


Iblis pun beribadah. Kata Al-Ghazali, Iblis beribadah selama delapan puluh ribu tahun. Tapi nafsunya itulah yang kemudian menyeret dia pada jurang kesesatan. Nafsu juga yang kemudian membuat Nabi Adam dan Ibunda Hawa terperdaya. Contoh yang sama bisa juga dijumpai dalam kisah Qabil dan Habil serta Harut dan Marut (dua malaikat yang diberikan hawa nafsu oleh Allah).


Hematnya, inilah penjelasan Imam Al-Ghazali yang penting untuk diinternalisasi. Bahwa nafsu tidak mungkin dihilangkan dari diri manusia. Bahkan, nafsu itu sendiri adalah motor penggerak. Maka hal yang paling mungkin bisa dilakukan adalah mengendalikan nafsu serta menahan diri agar kita tidak dikuasainya.


Tentu saja itu bukanlah perkara mudah. Menahan diri untuk tidak berlaku konsumtif ketika ada banyak saldo tersedia tentu tak mudah. Ibu-ibu (termasuk sebagian besar bapak-bapak) yang kebetulan tidak bisa keluar rumah, bukan berarti pasif berbelanja. Tinggal klik “oke” beberapa menit kemudian barang sampai di rumah. Mudah dan sederhana.


Kalaulah nafsu itu diumpamakan seperti binatang buas atau kuda binal yang liar, maka ada tiga cara mengendalikannya menurut Imam Al-Ghazali, yaitu sebagai berikut:


Pertama, mengekang atau mencegah keinginan (man’us syahwat). Kuda yang binal akan tak berdaya jika dikurangi makannya. Ini tentu saja hanya perumpamaan. Pointnya pada pengendalian diri. Lagi-lagi ini masalah yang bersifat internal. 


Manusia kerap memprioritaskan keinginan meski sesungguhnya itu bukanlah kebutuhannya. Inilah sesungguhnya cikal bakal kerusakan yang terjadi pada diri manusia. Nafsu karenanya harus terlebih dahulu dikendalikan dengan cara mengekang keinginan.


Kedua, bebani dengan ibadah. Karena keledai yang dibebani banyak dan dikurangi makannya, akan tunduk dan menurut. Sekali lagi ini juga tamsil atau perumpamaan. Makna kontekstualnya kira-kira begini; kita perlu mentarget diri dengan sesuatu yang berguna, untuk kita sendiri maupun orang lain (yang kedua tentu lebih baik). Seorang dosen perlu membuat target misalnya dalam satu minggu harus membuat 5-10 paper. Atau seorang siswa yang menargetkan hafalan qur'annya sebulan mencapai 1-2 Juz.


Pembebanan seperti inilah yang dimaksud Imam Al-Ghazali. Mengendalikan nafsu salah satunya bisa dengan cara membebani diri dengan target-target tertentu. Sehingga, tidak ada lagi waktu yang terbuang sia-sia. Tidak lagi tersisa ruang bagi nafsu untuk menyelinap dan melambungkan keinginan-keinginan yang tidak perlu.


Ketiga, meminta petunjuk kepada Allah. Memaknai hal ini sebagai bentuk kerendah-hatian manusia. Setelah berikhtiar kemudian tawakkal. Karena Allah yang punya kuasa atas segala-galanya.


Jadii kesimpulannya ada pada diri kita masing-masing....


Mau mengikuti hawa nafsu lalu melakukan kerusakan dan terjebak dilingkaran setan di neraka selamanya?


Atau mengikuti sumber ilmu yang telah dibawa Al-Qur'an dan sunnah nabi lalu menjadi ahlul jannah untuk selamanya?


Chose your Path!!!



"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang." (QS.Yusuf: 53)


اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ ، وَالأَعْمَالِ ، وَالأَهْوَاءِ




Jangan shalih sendiri, sharee yaa ^_^

Share:

Kamis, 29 Oktober 2020

The True Happiness

Dunia dengan segala perhiasannya memang selalu ada. Uang, popularitas, wanita, kecantikan, jabatan dan lain sebagainya. Kitapun bersusah payah sepanjang hidup untuk memperoleh dan memiliki hal² tersebut. Memang semua itu adalah hiasan hidup yang Allah anugerahkan buat manusia. 

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (3:14)


Tidaklah terlarang bagi muslim mendapatkan dan memiliki perhiasan² kehidupan dunia itu. Hanya saja yang ditutuntut oleh Allah dari manusia, antara lain: 

"Carilah dunia tapi janganlah melupakan akhirat. Jangan hanya mengumpulkan harta dan menghitung²nya lalu bersikap bahwa harta itu akan mengekalkan kita. Jangan bermegah² dengan harta dan hiasan dunia yang lainnya, sebab pada akhirnya kita akan masuk kubur."

Kita menyaksikan dalam kehidupan ini, bahwa keberuntungan setiap orang berbeda². Ada yang mudah menggapai harapan² untuk menjadi orang kaya, punya jabatan, popularitas dan lain². Adapula orang yang karena ingin meraih keberuntungan² dan kesenangan itu, lalu tenggelam di dalam khayalan², lamunan² tanpa dibarengi dengan usaha yang sungguh². Padahal tanpa usaha semuanya hanya sekedar khayalan belaka saja. Tidak akan mengubah kehidupan ke arah yang lebih baik. 

Berusahalah, bekerjalah, kenali dan optimalkan berbagai potensi diri yang Allah berikan pada kita. Kenalilah kemampuan kita. Milikilah ilmu. Kuasai taktik dan strategi untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Bila kita sudah berusah keras, namun keberuntungan lari dalam hidup kita, maka sadarilah. Jika keberuntungan itu sudah sebanding dengan usaha dan kemampuan diri yang dimiliki, maka memang demikianlah adanya. Akan tetapi, kalau kita merasa kemampuan dan usaha lebih besar daripada hasil, maka itulah bagian yang telah Allah tetapkan untuk kita di dunia. 

Jika keberuntungan dunia tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, maka bersyukurlah. Tidaklah berarti kita lantas berhenti berusaha. Usaha harus terus ada dan dilaksanakan. Akan tetapi, bersikaplah 'realistis' jangan mengada-ada.  "Keberuntungan" itu tidaklah terletak pada mengejar segala keinginan, akan tetapi pada "kemampuan mengurangi keinginan." Kebahagiaan itu terletak pada "rasa syukur kepada Allah" atas apa yang telah diraih.


Jangan shalih sendiri, share yaa ^_^

Share:

Senin, 17 Agustus 2020

Cinta & Keindahan

Semakin dibuang dari hati, semakin hadir difikiran, begitulah cinta

Cinta adalah perasaan, maka cara untuk menghapusnya haruslah dgn kelemah-lembutan.


Jika kamu mencoba melupakan seseorang dari fikiran, mungkin kamu lupa bahwa disaat itu ingatanmu adalah masih tentang dia

Dan pastinya yang terjadi, kamu semakin mengingatnya.Tidak semudah ucapan yg dilafazkan.


Mungkin kamu bisa kata, hanya maut yg bisa merebut dan memisahkannya.


Terimalah kenyataan, bersahabatlah terus seperti air yg mengalir ke muara, yang tetap tenang.


Sebagaimana kamu mengikhlaskan sebuah persahabatan dari awal, maka kamu harus ikhlaskan bagaimana nantinya akan berakhir.


Pertemuan dlm persahabatan itu suatu anugerah, semoga ukhuwah terus terpelihara. Karena Allah telah menyusun jalan hidup hamba-Nya dgn baik.


Bagaimana mungkin kamu bisa merubah sesuatu, jika sesuatu itu tidak ada ditanganmu? 


Kisahmu pada masa ini, mungkin akan berbeda dengan masa depan.

Namun begitulah kehidupan, dimana kita akan dipertemukan dengan orang-orang yang beda dari sebelumnya, melukis kisah yang berbeda bersamanya, agar kita mendapatkan pelajaran yang berbeda-beda pula darinya.


Seindah-indahnya cinta adalah cinta yang sama-sama suka dan tanpa dipaksa.

Namun ada lagi yang lebih indah daripada itu. 


CINTA, ketika kamu mendengar nama-Nya bergetarlah hatimu.

CINTA ketika kamu menyebut asma-Nya meneteslah air matamu.


"Sesungguhnya keimanan didalam jiwa seorang muslim itu lebih indah rasanya daripada dunia dan segala isinya."


Itulah sebuah keindahan cinta yang hakiki..

Share:

Jumat, 12 Juni 2020

MENCINTAI DAN DICINTAI


Diriwayatkan dari Abu Dar’da Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda tentang doa Nabi Dawud ‘Alaihis Salam, beliau berkata:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ ، وَالعَمَلَ الَّذِي يُبَلِّغُنِي حُبَّكَ ، اللَّهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي وَأَهْلِي ، وَمِنَ المَاءِ البَارِدِ
Ya Allah, sungguh aku minta kepada-Mu rasa cinta kepada-Mu, dan mencintai orang yang mencintaimu, dan amal yang menyampaikan kami kepada cintaMu,. Ya Alah jadikan kecintaan kepada-Mu lebih aku cintai daripada diriku sendiri, keluargaku, dan dari air yang dingin.” (HR. Al-Tirmidzi)

Ini adalah kabar berita dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tentang doa Nabi Dawud ‘alaihissalam. Beliau berdoa kepada Rabbnya, Allah Subahanahu wa Ta'ala, dan mendekatkan diri kepada-Nya untuk dikabulkan permintaannya ini.

Kandungan doa ini sangat istimewa;
yaitu meminta kepada Allah agar memberikan taufik pembacanya untuk mencintai Allah, mencintai apa yang dicintai-Nya dan mencintai karena-Nya.

Pertama, “Ya Allah, aku meminta kepadamu kecintaan kepada-Mu” meminta kepada Allah agar memberinya petunjuk dan taufik untuk mencintai Allah. Karena cinta kepada Allah tidak terwujud kecuali dengan taufik dari-Nya.
Seseorang tidak akan mencintai Allah kecuali setelah Allah memberikan kecintaan kepadanya. Ini sesuai dengan firman Allah Subahanahu wa Ta'ala,

يٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي ٱللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS. Al-Maidah: 54) Doa ini menngandung permintaan agar Allah mencintai dirinya.

Cinta kepada Allah termasuk pokok iman yang mendorong diri untuk mengabdi (beribadah) kepada-Nya. Cinta inilah yang mendorong kepada kebaikan dan menuntun kepada kemuliaan. Karenanya, setiap muslim wajib memenuhi hatinya dengan rasa cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan menguatkannya sehingga ia mencintai utusan-Nya dan syariat-Nya. Dengan kecintaan ini ia akan cinta atau suka kepada shalat, zakat, puasa, umrah, haji, tilawah, dan segala bentuk ibadah lainnya.

Kedua, “mencintai orang yang mencintai Allah” setelah seseorang cinta kepada Allah, ia harus cinta kepada kaum muslimin yang mencintai Allah. Yaitu orang-orang yang sibuk mewujudkan cinta kepada Allah. Karena Allah mencintai mereka. Rasa cinta kepada Allah menuntut mencintai siapa-siapa yang dicintai Allah.

Ketiga, meminta kepada Allah agar memberi taufik kepada dirinya untuk mencintai amal-amal yang menghantarkan kepada kecintaan-Nya. Kecintaan ini menjadi bukti benarnya kecintaan kepada Allah. Caranya, taat kepada Allah dengan melaksanakan amal-amal yang menghantarkan kepada keridhaan-Nya dan menjauhi setiap amal yang membuat Allah murka dan mejauhkan dirinya dari Allah.

Ringkas dari doa ini bahwa para nabi dan rasul sangat cinta kepada Allah sehingga mereka senang mendekatkan diri kepada Allah dan melaksanakan ibadah kepada-Nya.
Siapa yang mencintai Allah dan berharap Allah benar-benar mencintai-Nya hendaknya menempuh sebab yang telah ditetapkan Allah. Yaitu iman kepada rasul-Nya dan mengikuti sunnah-sunnahnya.

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)



Penutup
Cinta kepada Allah membuahkan semangat dan kenikmatan ibadah kepada-Nya. Sedangkan ibadah adalah tujuan dan hikmah diciptakannya manusia. Mulianya manusia ditentukan ibadahnya kepada Allah. Pentingnya meminta kecintaan kepada Allah ini agar diri ini semangat dan nikmat beribadah. Wallahu A’lam


Share:

Senin, 06 Januari 2020

Bangkrut


 
 

Allah berfirman  dalam Al-Qur’an pada surat Al-Qiyamah ayat 36, yang artinya:
“Apakah manusia mengira, bahwa ia dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban?)”
Dan pada surat Thaha [20] ayat 15 :
“Sesungguhnya hari kiamat akan datang (dan) aku merahasiakan (waktunya) agar tiap-tiap diri dibalas dengan apa yang diusahakannya.”
Suatu ketika Rasulullah saw. bertanya kepada para sahabatnya, “Tahukah engkau siapakah orang yang bangkrut itu? Salah seorang sahabat menjawab, “Bagi kami orang yang bangkrut itu adalah, orang yang kehilangan harta dan seluruh miliknya.” Kata Rasulullah, “Bukan. Orang yang bangkrut ialah orang yang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala dari seluruh amal salehnya, seperti dari puasanya, zakatnya, hajinya, ataupun wakafnya; tetapi ketika pahala-pahala itu akan ditimbang, datanglah orang-orang yang mengadu, ‘Ya Allah, dahulu ia pernah menuduhku berbuat sesuatu, padahal aku tidak melakukannya.’ Kemudian Allah menyuruh agar ia membayar orang yang mengadu itu dengan sebagian pahalanya. Kemudian datang lagi orang lain yang mengadu, ‘Ya Allah, ia pernah mengambil hakku dengan sewenang-wenang.’ Lalu Allah menyuruhnya lagi membayar dengan pahalanya kepada orang yang mengadu itu. Setelah itu datang lagi orang yang mengadu; sampai akhirnya seluruh palaha  shalat, haji dan puasanya itu, habis dipakai untuk membayar orang-orang yang pernah haknya ia rampas, yang pernah ia sakiti hatinya, ataupun yang pernah ia tuduh tanpa alasan yang benar.
Kini tidak ada lagi pahalanya yang tersisa, semuanya telah habis dipakai membayar hutang atas kelakuan zalimnya pada waktu ia hidup di dunia. Sementara itu, ternyata orang yang mengadu masih datang juga. Maka Allah memutuskan agar dosa orang yang mengadu itu dipindahkan kepadanya sebagai tebusan atas kesalah yang dilakukannya pada orang itu di dunia dahulu. Itulah orang yang bangkrut di hari kiamat, yaitu orang yang rajin beribadah tetapi dia tidak memiliki akhlak yang baik. Dia merampas hak orang lain dan banyak menyakiti hati saudara-saudaranya”
Kisah ini memberi pelajaran pada kita, bahwa pada intinya tidak ada hutang yang tidak dibayar. Semua bentuk kezaliman yang kita lakukan, harus kita bayar tunai dengan pahala yang kita miliki di akhirat nanti. Itulah mungkin sebabnya Al-Qur’an dalam surat An-Nisaa [4] ayat 111 mengatakan, “Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakan untuk (kemudharatan) dirinya sendiri.” Atau dalam surat Al-Isra’ [17] ayat 7, “Jika kamu berbuat baik, berarti berbuat baik bagi dirimu sendiri; dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri.”
Salah seorang sahabat Rasulullah yang terkemuka, Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Hidup ini adalah suatu bagian dari rantai perjalanan yang harus dilalui manusia, yaitu bermula dari alam ruh lalu menuju alam janin, kemudian alam dunia, lalu masuk ke dalam alam kubur, dan terakhir menetap abadi di alam akhirat. Orang yang bijak, akan menabung bekal sebanyak-banyaknya agar di akhir perjalanan  nanti ia dapat bersenang-senang. Ia mengerti benar, bahwa tempat bersenang-senang itu bukan di perjalanan, tetapi nanti apabila sampai tujuan. Orang bijak, tidak mau memanggul bekalnya sendirian, ia titipkan bekal-bekalnya pada orang lain sehingga ia dapat menempuh perjalanan ini tanpa repot-repot diganduli oleh perbekalannya.”
Ketika para sahabat bertanya, “Wahai Ali, bagaimana caranya menitipkan bekal kepada orang lain itu?” Sahabat Ali pun menjawab, “Ketahuilah, bahwa tidak ada hutang yang tidak dibayar. Bila seseorang menyakiti hatimu, makai a harus membayarnya nanti dengan pahala-pahalanya. Begitu juga bila seseorang memfitnahmu, maka ia harus membayar perbuatan jahatnya itu dengan pahalanya. Pokonya, kezaliman orang terhadapmu, pada hakikatnya adalah tambahan pahala bagimu. Begitulah caranya menitipkan bekal pada orang lain.”
Mudah-mudahan kisah ini dapat memberi pencerahan bagi jiwa kita, bahwa perbuatan buruk yang kita lakukan akan sangat merugikan diri kita sendiri, karena di akhirat nanti harus kita bayar tunai dengan pahala yang payah-payah kita kumpulkan. Sebaliknya, tidak usah risau dengan perbuatan zalim orang lain pada diri kita, karena bukankah hal itu berarti ia akan membawakan perbekalan kita, yang kelak akan diserakannya kepada kita di akhir perjalanan nanti.


Sumber : Alibasyah, Permadi. 2001. Sentuhan Kalbu Melalui Kultum. Jakarta :  Yayasan Mutiara Tauhid 



Share: