Senin, 06 Januari 2020

Bangkrut


 
 

Allah berfirman  dalam Al-Qur’an pada surat Al-Qiyamah ayat 36, yang artinya:
“Apakah manusia mengira, bahwa ia dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban?)”
Dan pada surat Thaha [20] ayat 15 :
“Sesungguhnya hari kiamat akan datang (dan) aku merahasiakan (waktunya) agar tiap-tiap diri dibalas dengan apa yang diusahakannya.”
Suatu ketika Rasulullah saw. bertanya kepada para sahabatnya, “Tahukah engkau siapakah orang yang bangkrut itu? Salah seorang sahabat menjawab, “Bagi kami orang yang bangkrut itu adalah, orang yang kehilangan harta dan seluruh miliknya.” Kata Rasulullah, “Bukan. Orang yang bangkrut ialah orang yang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala dari seluruh amal salehnya, seperti dari puasanya, zakatnya, hajinya, ataupun wakafnya; tetapi ketika pahala-pahala itu akan ditimbang, datanglah orang-orang yang mengadu, ‘Ya Allah, dahulu ia pernah menuduhku berbuat sesuatu, padahal aku tidak melakukannya.’ Kemudian Allah menyuruh agar ia membayar orang yang mengadu itu dengan sebagian pahalanya. Kemudian datang lagi orang lain yang mengadu, ‘Ya Allah, ia pernah mengambil hakku dengan sewenang-wenang.’ Lalu Allah menyuruhnya lagi membayar dengan pahalanya kepada orang yang mengadu itu. Setelah itu datang lagi orang yang mengadu; sampai akhirnya seluruh palaha  shalat, haji dan puasanya itu, habis dipakai untuk membayar orang-orang yang pernah haknya ia rampas, yang pernah ia sakiti hatinya, ataupun yang pernah ia tuduh tanpa alasan yang benar.
Kini tidak ada lagi pahalanya yang tersisa, semuanya telah habis dipakai membayar hutang atas kelakuan zalimnya pada waktu ia hidup di dunia. Sementara itu, ternyata orang yang mengadu masih datang juga. Maka Allah memutuskan agar dosa orang yang mengadu itu dipindahkan kepadanya sebagai tebusan atas kesalah yang dilakukannya pada orang itu di dunia dahulu. Itulah orang yang bangkrut di hari kiamat, yaitu orang yang rajin beribadah tetapi dia tidak memiliki akhlak yang baik. Dia merampas hak orang lain dan banyak menyakiti hati saudara-saudaranya”
Kisah ini memberi pelajaran pada kita, bahwa pada intinya tidak ada hutang yang tidak dibayar. Semua bentuk kezaliman yang kita lakukan, harus kita bayar tunai dengan pahala yang kita miliki di akhirat nanti. Itulah mungkin sebabnya Al-Qur’an dalam surat An-Nisaa [4] ayat 111 mengatakan, “Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakan untuk (kemudharatan) dirinya sendiri.” Atau dalam surat Al-Isra’ [17] ayat 7, “Jika kamu berbuat baik, berarti berbuat baik bagi dirimu sendiri; dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri.”
Salah seorang sahabat Rasulullah yang terkemuka, Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Hidup ini adalah suatu bagian dari rantai perjalanan yang harus dilalui manusia, yaitu bermula dari alam ruh lalu menuju alam janin, kemudian alam dunia, lalu masuk ke dalam alam kubur, dan terakhir menetap abadi di alam akhirat. Orang yang bijak, akan menabung bekal sebanyak-banyaknya agar di akhir perjalanan  nanti ia dapat bersenang-senang. Ia mengerti benar, bahwa tempat bersenang-senang itu bukan di perjalanan, tetapi nanti apabila sampai tujuan. Orang bijak, tidak mau memanggul bekalnya sendirian, ia titipkan bekal-bekalnya pada orang lain sehingga ia dapat menempuh perjalanan ini tanpa repot-repot diganduli oleh perbekalannya.”
Ketika para sahabat bertanya, “Wahai Ali, bagaimana caranya menitipkan bekal kepada orang lain itu?” Sahabat Ali pun menjawab, “Ketahuilah, bahwa tidak ada hutang yang tidak dibayar. Bila seseorang menyakiti hatimu, makai a harus membayarnya nanti dengan pahala-pahalanya. Begitu juga bila seseorang memfitnahmu, maka ia harus membayar perbuatan jahatnya itu dengan pahalanya. Pokonya, kezaliman orang terhadapmu, pada hakikatnya adalah tambahan pahala bagimu. Begitulah caranya menitipkan bekal pada orang lain.”
Mudah-mudahan kisah ini dapat memberi pencerahan bagi jiwa kita, bahwa perbuatan buruk yang kita lakukan akan sangat merugikan diri kita sendiri, karena di akhirat nanti harus kita bayar tunai dengan pahala yang payah-payah kita kumpulkan. Sebaliknya, tidak usah risau dengan perbuatan zalim orang lain pada diri kita, karena bukankah hal itu berarti ia akan membawakan perbekalan kita, yang kelak akan diserakannya kepada kita di akhir perjalanan nanti.


Sumber : Alibasyah, Permadi. 2001. Sentuhan Kalbu Melalui Kultum. Jakarta :  Yayasan Mutiara Tauhid 



Share:

0 komentar:

Posting Komentar