Selasa, 31 Desember 2019

Dibalik Lezatnya Madu

Madu merupakan bahan alami yang bermanfaat bagi tubuh. Madu berawal dari nektar yang dihasilkan oleh lebah. Madu alami jauh lebih berkhasiat ketimbang di kemasan yang telah tercampur oleh bahan-bahan lainnya. Di sisi lain, madu asli juga bersifat lebih kental daripada yang kemasan.

Madu memiliki rasa manis yang khas karena mengandung unsur monosakarida fruktosa dan glukosa yang lebih baik ketimbang gula. Madu mengandung kalori gula yang dapat menyerap lemak dengan baik, terutama apabila dikonsumsi bersamaan dengan air hangat.

Madu memiliki campuran senyawa fruktosa (38.5 persen) dan glukosa (31 persen). Selain itu, hasil produsen lebah ini juga memiliki kandungan karbohidrat seperti sukrosa, maltrosa, dan karbohidrat kompleks lainnya.Madu juga mengandung anti-oksidan dari senyawa chrysin, pinobaksin, vitamin C, katalase, dan pinocembrin. Semua kandungan tersebut tentunya sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh.

Madu sendiri merupakan 'produk asli' dari lebah. Sungguh luar biasa dan sangat istimewa sekali bukan? Madu yang bisa kita nikmati adalah hasil dari ribuan dan jutaan lebah yang selalu rajin dan bekerja sama. Tentu kita sering mendengar pepatah mengatakan 'Hiduplah seperti lebah'.  Karena lebah memang sangat bermanfaat dan bisa menjadi contoh bagi kita.x
Lebah salah satu hewan yang pekerja keras dan saling bekerja sama Dan juga merupakan tanda-tanda kebesaran dari Allah yang sudah seharusnya kita memuji-Nya. Seperti yang difirmankan dalam al Qur'an surat An Nah [16] ayat 68-69 yaitu :


وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ

Referensi: https://tafsirweb.com/4416-surat-an-nahl-ayat-68.html
وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ

Referensi: https://tafsirweb.com/4416-surat-an-nahl-ayat-68.html
وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ

Referensi: https://tafsirweb.com/4416-surat-an-nahl-ayat-68.html
وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ

Referensi: https://tafsirweb.com/4416-surat-an-nahl-ayat-68.html


“Dan Rabbmu mengilhamkan kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.’ (QS. 16:68) Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS. 16:69)” (an-Nahl: 68-69)

Yang dimaksud dengan wahyu di sini adalah ilham, petunjuk dan bimbingan bagi lebah, agar ia menjadikan gunung-gunung sebagai rumah yang menjadi tempat tinggal, juga pepohonan, serta tempat-tempat yang dibuat oleh manusia. Kemudian lebah-lebah itu membuat rumah-rumahnya dengan penuh ketekunan dalam menyusun dan menatanya, di mana tidak ada satu bagian pun yang rusak.

Selanjutnya, Allah Ta’ala memberi izin kepada lebah-lebah itu dalam bentuk ketetapan qadariyyah (Sunnatullah) dan pengerahan untuk memakan segala macam buah-buahan, berjalan di berbagai macam jalan yang telah dimudahkan oleh Allah, di mana ia bisa dengan sekehendaknya berjalan di udara yang agung ini dan juga daratan yang membentang luas, juga lembah-lembah, serta gunung-gunung yang tinggi menjulang. Kemudian masing-masing dari mereka kembali ke rumah-rumah mereka, tanpa ada satu pun yang keliru memasuki rumahnya baik sebelah kanan maupun kirinya, tetapi masing-masing memasuki rumahnya sendiri-sendiri, yang di dalamnya terdapat ribuan anak-anaknya dengan persediaan madu. Dia membangun sarang dari bahan yang ada di kedua sayapnya, lalu memuntahkan madu dari dalam mulutnya, dan bertelur dari duburnya.

Firman Allah Ta’ala: yakhruju mim buthuunihaa syaraabum mukhtalifun alwaanuhuu fiihi syifaa-ul lin naasi (“Dari perut lebah itu keluar minuman [madu] yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.”) Ada yang berwarna putih, kuning, merah, dan warna-warna lainnya yang indah sesuai dengan lingkungan dan makanannya.

Firman-Nya: fiihi syifaa-ul lin naasi (“Terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia,”) maksudnya, di dalam madu itu terdapat obat penyembuh bagi manusia. Sebagian orang yang berbicara tentang thibbun Nabawi (ilmu kedokteran Nabi) mengatakan, jika Allah mengatakan: “fiihisy-syifa’ lin nas”, berarti madu itu menjadi obat bagi segala macam penyakit, tetapi Dia mengatakan, “fiihi syifa’ linnas”, yang berarti bahwa madu itu bisa dipergunakan untuk obat penyakit kedinginan, karena madu itu panas. Penyakit itu selalu diobati dengan lawannya.
Dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala: fiihi syifaa-ul lin naasi (“Di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia,”) yaitu madu.

Setelah kita mengutip dari ayat di atas, terdapat juga hal yang tidak pernah kita sadari betapa Maha Cerdas nya Allah mengatur segala hal hingga sedetail mungkin. Pernahkah melihat sarang lebah? Bagaimana bentuk dari sarang lebah itu sendiri?

Bentuk sarang lebih adalah dikelilingi dengan bidang-bidang segienam (heksagonal) yang rapih. Sehingga terlihat apik dan seperti barisan yang sempurna. Yang jadi pertanyaan adalah mengapa bentuknya segienam? Mengapa tidak persegi atau persegi panjang? Mengapa tidak bulat atau oval?

Ternyata ada suatu kelebihan yang mungkin kita tidak sadari. Jika bentuk sarang lebah itu segienam, maka tetesan madu yang akan masuk ke sarang akan masuk ke berbagai sisi. Sehingga dapat terkumpul penuh dan tidak terdapat sudut yang tersisa. Dan juga membuat madu lebih banyak terkumpul di sarang.

Memanfaatkan Ruangan Secara Optimal
Menurut para ahli Matematika, struktur segienam merupakan bentuk yang paling cocok untuk memanfaatkan setiap area unit secara maksimal. Dengan begitu lebah madu dapat menggunakan sarang mereka secara optimal untuk menyimpan madu. Jika sel-sel sarang madu dibangun dengan bentuk lain, maka akan terdapat area yang tidak terpakai.Hal ini tentu menyebabkan lebih sedikitnya madu dapat yang dapat disimpan dan sedikit pula lebah yang memanfaatkannya.

Berbagai Macam Tugas Lebah
Lebah terbagi menjadi beberapa tingkatan yaitu ratu lebah, lebah jantan dan lebah pekerja. Pada umumnya Ratu lebah bisa menghasilkan telur, lebah jantan tidak memiliki sengatan dan bertugas menjaga makanan. Dan lebah pekerja mempunyai sengatan yang berbahaya, jumlahnya banyak dan mampu membuat rumah lebah, selain itu mereka juga mencari makanan untuk bayi lebah.
 
Perbedaan Antara Lebah dan Tawon
Lebah seringkali disamakan dengan insekta lain seperti tawon. Karena bentuknya yang mirip membuat siapapun yang melihat akan mengira bahwa lebah itu tawon dan juga sebaliknya. Jadi memang ada perbedaan dari lebah dan tawon. Lebah mempunyai bentuk yang lebih kecil dibandingkan tawon, memiliki warna coklat kekuningan sedangkan tawon cenderung gelap dan hitam, lebah mempunyai sarang sisiran kotak sedangkan tawon sarang gelantungan oval. Dan lebah menghasilkan madu sedangkan tawon tidak menghasilkan madu.

Produk-produk Lebah
 Ada beberapa produk yang bisa dihasilkan oleh lebah yang biasa pada umumnya selain madu yaitu :
1. Tepung sari lebah dapat digunakan sebagai suplemen vitamin E.
2. Royal jelly adalah makanan khusus ratu lebah yang mengandung protein yang tinggi.
3. Bipropolis biasanya dalam bentuk cairan (liquid), softgel, dan bisa digunakan untuk antiseptik dan antibiotik.
4. Madu adalah yang paling sering dihasilkan.
5. Bee wax digunakan untuk membuat lilin lebah. Dimana lilin lebah bisa digunakan untuk membuat     suatu produk untuk obat.
6. Bee fenom merupakan racun lebah yang digunakan untuk kesehatan dan ada zat melitin yang dapat berguna melancarkan peredaran darah.

Semoga bermanfaat ya dan mohon maaf jika terdapat kekurangan. Dan juga terimakasih telah membaca.

Sumber :
https://alquranmulia.wordpress.com/2015/09/18/tafsir-ibnu-katsir-surah-an-nahl-ayat-68-69/
https://www.edutafsi.com/2015/01/fakta-unik-sarang-lebah-madu.html
 



Share:

Fitnah dan Suara Wanita

Islam memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi
tugas (taklif) dan tanggung jawab yang utuh seperti
halnya laki-laki, yang kelak akan mendapatkan pahala
atau siksa sebagai balasannya. Tugas yang mula-mula
diberikan Allah kepada manusia bukan khusus untuk
laki-laki, tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan
istrinya (lihat kembali surat al-Baqarah: 35)

Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun nash Islam,
baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah sahihah, yang
mengatakan bahwa wanita (Hawa; penj.) yang menjadi
penyebab diusirnya laki-laki (Adam) dari surga dan
menjadi penyebab penderitaan anak cucunya kelak,
sebagaimana disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama.
Bahkan Al-Qur'an menegaskan bahwa Adamlah orang pertama
yang dimintai pertanggungjawaban 
(lihat kembali surat Thaha: 115-122).
Namun, sangat disayangkan masih banyak umat Islam yang
merendahkan kaum wanita dengan cara mengurangi
hak-haknya serta mengharamkannya dari apa-apa yang
telah ditetapkan syara'. Padahal, syari'at Islam
sendiri telah menempatkan wanita pada proporsi yang
sangat jelas, yakni sebagai manusia, sebagai perempuan,
sebagai anak perempuan, sebagai istri, atau sebagai
ibu.

Yang lebih memprihatinkan, sikap merendahkan wanita
tersebut sering disampaikan dengan mengatas namakan
agama (Islam), padahal Islam bebas dari semua itu.
Orang-orang yang bersikap demikian kerap menisbatkan
pendapatnya dengan hadits Nabi saw. yang berbunyi:

"Bermusyawarahlah dengan kaum wanita kemudian
langgarlah (selisihlah)."

Hadits ini sebenarnya palsu (maudhu'). Tidak ada
nilainya sama sekali serta tidak ada bobotnya ditinjau
dari segi ilmu (hadits).

Yang benar, Nabi saw. pernah bermusyawarah dengan
istrinya, Ummu Salamah, dalam satu urusan penting
mengenai umat. Lalu Ummu Salamah mengemukakan
pemikirannya, dan Rasulullah pun menerimanya dengan
rela serta sadar, dan ternyata dalam pemikiran Ummu
Salamah terdapat kebaikan dan berkah.
Mereka, yang merendahkan wanita itu, juga sering
menisbatkan kepada perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa
"Wanita itu jelek segala-galanya, dan segala kejelekan
itu berpangkal dari wanita."

Perkataan ini tidak dapat diterima sama sekali; ia
bukan dari logika Islam, dan bukan dari nash.1
Bagaimana bisa terjadi diskriminasi seperti itu,
sedangkan Al-Qur'an selalu menyejajarkan muslim dengan
muslimah, wanita beriman dengan laki-laki beriman,
wanita yang taat dengan laki-laki yang taat, dan
seterusnya, sebagaimana disinyalir dalam Kitab Allah.
Mereka juga mengatakan bahwa suara wanita itu aurat,
karenanya tidak boleh wanita berkata-kata kepada
laki-laki selain suami atau mahramnya. Sebab, suara
dengan tabiatnya yang merdu dapat menimbulkan fitnah
dan membangkitkan syahwat.

Ketika kami tanyakan dalil yang dapat dijadikan acuan
dan sandaran, mereka tidak dapat menunjukkannya.
Apakah mereka tidak tahu bahwa Al-Qur'an memperbolehkan
laki-laki bertanya kepada isteri-isteri Nabi saw. dari
balik tabir? Bukankah isteri-isteri Nabi itu
mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat
daripada istri-istri yang lain, sehingga ada beberapa
perkara yang diharamkan kepada mereka yang tidak
diharamkan kepada selain mereka? Namun demikian, Allah
berfirman:

"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir
..."(al-Ahzab: 53)

Permintaan atau pertanyaan (dari para sahabat) itu
sudah tentu memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin
(ibunya kaum mukmin: istri-istri Nabi). Mereka biasa
memberi fatwa kepada orang yang meminta fatwa kepada
mereka, dan meriwayatkan hadits-hadits bagi orang yang
ingin mengambil hadits mereka.

Pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi saw.
dihadapan kaum laki-laki. Ia tidak merasa keberatan
melakukan hal itu, dan Nabi pun tidak melarangnya. Dan
pernah ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar
ketika Umar sedang berpidato di atas mimbar. Atas
sanggahan itu, Umar tidak mengingkarinya, bahkan ia
mengakui kebenaran wanita tersebut dan mengakui
kesalahannya sendiri seraya berkata, "Semua orang
(bisa) lebih mengerti daripada Umar."
Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri seorang
syekh yang sudah tua (Nabi Syu'aib; ed.) yang berkata
kepada Musa, sebagai dikisahkan dalam Al-Qur'an:

"... Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia
memberi balasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum
(ternak) kami ..." (al-Qashash: 25)

Sebelum itu, wanita tersebut dan saudara perempuannya
juga berkata kepada Musa ketika Musa bertanya kepada
mereka:

"... Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)? Kedua
wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumkan
(ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu
memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah
orang tua yang telah lanjut usianya." (al-Qashash: 23)

Selanjutnya, Al-Qur'an juga menceritakan kepada kita
percakapan yang terjadi antara Nabi Sulaiman a.s.
dengan Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu dengan
kaumnya yang laki-laki.

Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum
kita menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak
menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.
Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan
untuk menarik laki-laki, yang oleh Al-Qur'an
diistilahkan dengan al-khudhu bil-qaul
(tunduk/lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah:

"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti
wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah
kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)

Allah melarang khudhu, yakni cara bicara yang bisa
membangkitkan nafsu orang-orang yang hatinya
"berpenyakit." Namun, dengan ini bukan berarti Allah
melarang semua pembicaraan wanita dengan setiap
laki-laki. Perhatikan ujung ayat dari surat di atas:

"Dan ucapkanlah perkataan yang baik"

Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami
hadits dengan salah. Hadits-hadits yang mereka
sampaikan antara lain yang diriwayatkan Imam Bukhari
bahwa Nabi saw. bersabda:

"Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang
lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah)
wanita."

Mereka telah salah paham. Kata fitnah dalam hadits
diatas mereka artikan dengan "wanita itu jelek dan
merupakan azab, ancaman, atau musibah yang ditimpakan
manusia seperti ditimpa kemiskinan, penyakit,
kelaparan, dan ketakutan." Mereka melupakan suatu
masalah yang penting, yaitu bahwa manusia difitnah
(diuji) dengan kenikmatan lebih banyak daripada diuji
dengan musibah. Allah berfirman:

"... Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) ...."
(al-Anbiya: 35)

Al-Qur'an juga menyebutkan harta dan anak-anak - yang
merupakan kenikmatan hidup dunia dan perhiasannya -
sebagai fitnah yang harus diwaspadai, sebagaimana
firman Allah:

"Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu)..." (at-Taghabun: 15)

"Dan ketabuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu
hanyalah sebagai cobaan ..." (al-Anfal: 28)

Fitnah harta dan anak-anak itu ialah kadang-kadang
harta atau anak-anak melalaikan manusia dari kewajiban
kepada Tuhannya dan melupakan akhirat. Dalam hal ini
Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu
dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah
orang-orang yang rugi." (al-Munaafiqun: 9)

Sebagaimana dikhawatirkan manusia akan terfitnah oleh
harta dan anak-anak, mereka pun dikhawatirkan terfitnah
oleh wanita, terfitnah oleh istri-istri mereka yang
menghambat dan menghalangi mereka dari perjuangan, dan
menyibukkan mereka dengan kepentingan-kepentingan
khusus (pribadi/keluarga) dan melalaikan mereka dari
kepentingan-kepentingan umum. Mengenai hal ini
Al-Qur'an memperingatkan:

"Hai orang-orang beriman, sesungguhnya diantara
istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka ..."
(at-Taghabun: 14)

Wanita-wanita itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi
alat untuk membangkitkan nafsu dan syahwat serta
menyalakan api keinginan dalam hati kaum laki-laki. Ini
merupakan bahaya sangat besar yang dikhawatirkan dapat
menghancurkan akhlak, mengotori harga diri, dan
menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak.
Peringatan untuk berhati-hati terhadap wanita disini
seperti peringatan untuk berhati-hati terhadap
kenikmatan harta, kemakmuran, dan kesenangan hidup,
sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih:

"Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku takutkan atas
kamu, tetapi yang aku takutkan ialah dilimpahkan
(kekayaan) dunia untuk kamu sebagaimana dilimpahkan
untuk orang-orang sebelum kamu, lantas kamu
memperebutkannya sebagaimana mereka dahulu
berlomba-lomba memperebutkannya, lantas kamu binasa
karenanya sebagaimana mereka dahulu binasa karenanya."
(Muttafaq alaih dari hadits Amr bin Auf al-Anshari)

Dari hadits ini tidak berarti bahwa Rasulullah saw.
hendak menyebarkan kemiskinan, tetapi beliau justru
memohon perlindungan kepada Allah dari kemiskinan itu,
dan mendampingkan kemiskinan dengan kekafiran. Juga
tidak berarti bahwa beliau tidak menyukai umatnya
mendapatkan kelimpahan dan kemakmuran harta, karena
beliau sendiri pernah bersabda:

"Bagus nian harta yang baik bagi orang yang baik" (HR.
Ahmad 4:197 dan 202, dan Hakim dalam al-Mustadrak 2:2,
dan Hakim mengesahkannya menurut syarat Muslim, dan
komentar Hakim ini disetujui oleh adz-Dzahabi)

Dengan hadits diatas, Rasulullah saw. hanya menyalakan
lampu merah bagi pribadi dan masyarakat muslim di jalan
(kehidupan) yang licin dan berbahaya agar kaki mereka
tidak terpeleset dan terjatuh ke dalam jurang tanpa
mereka sadari.

sumber: http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/SuaraWanita.html

thanks for everything... 



Share:

Mendidik Anak ala Nabi SAW


“Kebanyakan orang belum menyadari bahwa anak-anak adalah salah satu unsur umat ini. Hanya saja dia bersembunyi dibalik tabir kekanak-kanakannya. Apabila kita singkapkan tabir itu, pasti kita temukan dia berdiri sebagai salah satu tiang penyangga bangunan umat ini. Akan tetapi, ketentuan Allah pasti berjalan, yaitu bahwa tabir tersebut tidak akan tersingkap selain dengan bimbingan dan pendidikan secara berkala, sedikit demi sedikit. Oleh karena itu, harus dilakukan dengan perencanaan yang matang dan bertahap.”
-Syekh Muhammad Al-Khidr Husain rahimahullah.-

                Banyak orangtua yang mendambakan kehadiran anak yang sholeh dan sholehah dalam hidupnya. Tentu saja hal itu tidak terlepas dari pola pendidikan yang mereka ajarkan terhadap anak-anak mereka. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, seorang ulama besar islam berkata, “barang siapa yang dengan sengaja tidak mengajarkan apa yang bermanfaat bagi anak-anaknya dan meninggalkannya begitu saja, berarti dia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar. Kerusakan pada diri anak kebanyakan datang dari sisi orangtua yang meninggalkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dalam agama berikut sunnah-sunnahnya.”  Seorang pendidik, terutama orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam mendidik anak-anaknya. Lantas, pola pendidikan seperti apakah yang harus diajarkan para orang tua kepada anak-anaknya? Yang pasti adalah pola pendidikan yang sudah diajarkan oleh Nabi SAW. Karena beliaulah sebaik-baik suri teladan bagi para ummatnya. Rasulullah SAW mengajarkan kepada para orangtua bagaimana cara mendidik anak sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan As-Sunnah.
Nabi SAW memerintahkan kepada para orangtua agar selalu menampilkan suri teladan yang baik. Suri teladan yang baik memiliki dampak yang besar pada kepribadian anak. Sebab, mayoritas yang ditiru anak berasal dari kedua orangtuanya. Bahkan, dipastikan pengaruh paling dominan berasal dari kedua orangtuanya. Kedua orangtua selalu dituntut untuk menjadi suri teladan yang baik. Karena seorang anak yang berada dalam masa pertumbuhan selalu memerhatikan sikap dan ucapan kedua orangtuanya. Dia juga bertanya tentang sebab mereka berlaku demikian. Apabila baik, maka akan baik juga akibatnya. Kedua orangtua dituntut untuk mengerjakan perintah-perintah Allah SWT dan sunnah Rasul-Nya SAW dalam sikap dan perilaku selama itu memungkinkan bagi mereka untuk mengerjakannya. Sebab, anak-anak mereka selalu memerhatikan gerak-gerik mereka setiap saat.
“Kemampuan seorang anak untuk mengingat dan mengerti akan segala hal sangat besar sekali. Bahkan, bisa jadi lebih besar dari yang kita kira. Sementara, sering kali kita melihat anak sebagai makhluk kecil yang tidak bisa mengerti atau mengingat.” [Manhaj At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah (2/117) karya Muhammad Quthb].

Semoga bermanfaat…

Share:

Minggu, 29 Desember 2019

Ikhlas dalam berdakwah

Dalam kehidupan ini, adakalanya manusia terjatuh sampai pada tingkatan yang terendah, disebabkan ketidakmauan dan ketidakmampuannya mengoptimalkan segala potensi yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepadanya. Sebaliknya, ketika potensi yang dimiliki mampu dioptimalkan, manusia mampu mencapai kedudukan yang tinggi, bahkan melebihi derajat para malaikat. Karenanya setiap upaya mengingatkan, selalu ada potensi ketidaksempurnaan. Terutama, ketika Kita tidak memerhatikan secara detail sisi-sisi kelebihan dan kekurangan yang dimiliki setiap manusia. Islam memandang manusia sebagai satu kesatuan yang utuh. Sedikit pun Islam tidak pernah mengotak-ngotakkan sisi-sisi manusia, siapa pun ia. Sisi negatif manusia, Islam dekati dengan cara memberi larangan dan ancaman, sementara sisi positif Islam dorong dengan beragam anjuran dan dorongan. Oleh karena itulah, dalam Islam terdapat ajaran al-Khauf (rasa takut akan ancaman) dan al-Raja' (berharap mendapat semua kebaikan), juga konsep surga (sebagai balasan apabila manusia mau melakukan setiap anjuran ajaran Islam) dan neraka (sebagai balasan apabila manusia terjerumus kepada setiap larangan ajaran Islam).

Ikhlas berdakwah tanpa pamrih adalah jalan yang harus ditempuh seorang pendakwah. Karena, ia bertugas menyampaikan sesuatu yang benar, sehingga ia harus melakukannya dengan ikhlas dan jujur. Jika seorang da'i tidak mempunyai qalbu yang ikhlas dan jujur, maka dakwah yang ia sampaikan tidak akan berguna sedikit pun bagi para pendengarnya. Setiap da'i hendaknya merasa khawatir kalau dakwahnya tidak diiringi sikap ikhlas, seperti pada saat ia sempat berharap imbalan atau pujian dari objek dakwahnya. Ketika seorang da'i telah berharap mendapat imbalan dari tugas dakwahnya, maka keikhlasannya akan hilang. Tentang masalah ini, Al-Qur'an telah menyebutkan sebagai berikut, “Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepada kalian atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam,” (QS al-Syu'arâ' [26]: 109).

Para da'i adalah orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak para Nabi serta Rasul. Khususnya, pada masa belakangan ini seorang da'i harus mengisi sanubari, akal, dan pandangan hidupnya dengan semua tuntunan Al-Qur'an. Kalau tidak, maka orang lain akan menuduh mereka sebagai orang-orang yang suka berbohong. Sebab, mereka menjadikan dakwah dan agamanya hanya sebagai sarana untuk mencari uang semata. Oleh karena itu, mereka tidak perlu dipercaya, baik perilaku maupun tutur kata yang mereka sampaikan.

Sebenarnya jika para da'i hanya menjadikan dakwah mereka sebagai sarana untuk mencari kekayaan, maka dakwah yang dilakukan tidak akan menyentuh lubuk sanubari para pendengar. Sebab, mereka mengetahui bahwa yang disebarkan melalui dakwah dimaksud hanyalah suatu kebohongan belaka.
Namun demikian, masih ada juga sejumlah da'i yang berdakwah dengan ikhlas. Mereka berjuang mati-matian untuk menciptakan kebahagiaan hidup orang lain. Merekalah orang-orang yang berjuang dengan ikhlas karena Allah semata. Mayoritas mereka hidup sederhana, bahkan tidak mempunyai harta yang cukup untuk membeli kain kafan sendiri. Menurut hemat Saya, para da'i yang seperti itulah yang diharapkan oleh masyarakat Islam dewasa ini, karena mereka adalah pewaris para Nabi serta Rasul.

sumber: Fethullah Gulen, Dakwah Jalan Terbaik Dalam Berpikir dan Menyikapi Hidup
Share: