Allah berfirman
dalam Al-Qur’an pada surat Al-Qiyamah ayat 36, yang artinya:
“Apakah manusia mengira, bahwa ia dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggung jawaban?)”
Dan pada surat Thaha [20] ayat 15 :
“Sesungguhnya hari kiamat akan datang (dan) aku merahasiakan (waktunya)
agar tiap-tiap diri dibalas dengan apa yang diusahakannya.”
Suatu ketika Rasulullah saw. bertanya kepada para
sahabatnya, “Tahukah engkau siapakah orang yang bangkrut itu? Salah seorang sahabat
menjawab, “Bagi kami orang yang bangkrut itu adalah, orang yang kehilangan
harta dan seluruh miliknya.” Kata Rasulullah, “Bukan. Orang yang bangkrut
ialah orang yang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala dari seluruh
amal salehnya, seperti dari puasanya, zakatnya, hajinya, ataupun wakafnya;
tetapi ketika pahala-pahala itu akan ditimbang, datanglah orang-orang yang
mengadu, ‘Ya Allah, dahulu ia pernah menuduhku berbuat sesuatu, padahal aku
tidak melakukannya.’ Kemudian Allah menyuruh agar ia membayar orang yang
mengadu itu dengan sebagian pahalanya. Kemudian datang lagi orang lain yang mengadu,
‘Ya Allah, ia pernah mengambil hakku dengan sewenang-wenang.’ Lalu Allah
menyuruhnya lagi membayar dengan pahalanya kepada orang yang mengadu itu. Setelah
itu datang lagi orang yang mengadu; sampai akhirnya seluruh palaha shalat, haji dan puasanya itu, habis dipakai
untuk membayar orang-orang yang pernah haknya ia rampas, yang pernah ia sakiti
hatinya, ataupun yang pernah ia tuduh tanpa alasan yang benar.
Kini tidak ada lagi pahalanya yang tersisa, semuanya
telah habis dipakai membayar hutang atas kelakuan zalimnya pada waktu ia hidup
di dunia. Sementara itu, ternyata orang yang mengadu masih datang juga. Maka Allah
memutuskan agar dosa orang yang mengadu itu dipindahkan kepadanya sebagai
tebusan atas kesalah yang dilakukannya pada orang itu di dunia dahulu. Itulah
orang yang bangkrut di hari kiamat, yaitu orang yang rajin beribadah tetapi dia
tidak memiliki akhlak yang baik. Dia merampas hak orang lain dan banyak
menyakiti hati saudara-saudaranya”
Kisah ini memberi pelajaran pada kita, bahwa pada
intinya tidak ada hutang yang tidak dibayar. Semua bentuk kezaliman yang kita
lakukan, harus kita bayar tunai dengan pahala yang kita miliki di akhirat nanti.
Itulah mungkin sebabnya Al-Qur’an dalam surat An-Nisaa [4] ayat 111 mengatakan,
“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakan untuk (kemudharatan)
dirinya sendiri.” Atau dalam surat Al-Isra’ [17] ayat 7, “Jika kamu
berbuat baik, berarti berbuat baik bagi dirimu sendiri; dan jika kamu berbuat
jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri.”
Salah seorang sahabat Rasulullah yang terkemuka, Ali
bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Hidup ini adalah suatu bagian dari rantai
perjalanan yang harus dilalui manusia, yaitu bermula dari alam ruh lalu menuju alam
janin, kemudian alam dunia, lalu masuk ke dalam alam kubur, dan terakhir menetap
abadi di alam akhirat. Orang yang bijak, akan menabung bekal sebanyak-banyaknya
agar di akhir perjalanan nanti ia dapat
bersenang-senang. Ia mengerti benar, bahwa tempat bersenang-senang itu bukan di
perjalanan, tetapi nanti apabila sampai tujuan. Orang bijak, tidak mau memanggul
bekalnya sendirian, ia titipkan bekal-bekalnya pada orang lain sehingga ia dapat
menempuh perjalanan ini tanpa repot-repot diganduli oleh perbekalannya.”
Ketika para sahabat bertanya, “Wahai Ali, bagaimana
caranya menitipkan bekal kepada orang lain itu?” Sahabat Ali pun menjawab, “Ketahuilah,
bahwa tidak ada hutang yang tidak dibayar. Bila seseorang menyakiti hatimu, makai
a harus membayarnya nanti dengan pahala-pahalanya. Begitu juga bila seseorang
memfitnahmu, maka ia harus membayar perbuatan jahatnya itu dengan pahalanya. Pokonya,
kezaliman orang terhadapmu, pada hakikatnya adalah tambahan pahala bagimu. Begitulah
caranya menitipkan bekal pada orang lain.”
Mudah-mudahan kisah ini dapat memberi pencerahan bagi
jiwa kita, bahwa perbuatan buruk yang kita lakukan akan sangat merugikan diri
kita sendiri, karena di akhirat nanti harus kita bayar tunai dengan pahala yang
payah-payah kita kumpulkan. Sebaliknya, tidak usah risau dengan perbuatan zalim
orang lain pada diri kita, karena bukankah hal itu berarti ia akan membawakan
perbekalan kita, yang kelak akan diserakannya kepada kita di akhir perjalanan
nanti.