Minggu, 05 Januari 2020

Kekosongan Hati

Hati adalah bagian dari organ tubuh manusia. Jika ia hidup, maka hiduplah seluruh tubuhnya. Sebaliknya, jika hati sudah mati, maka matilah seluruh tubuhnya. Hati laksana bejana tempat bersemayamnya iman dan juga hawa nafsu. Allah SWT berfirman,
         “Dan ketahuilah bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah. Kalau dia menuruti (kemauan) kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. Al-Hujurat:7)
         Allah SWT menjelaskan di sini, bahwa memenuhi kekosongan hati haruslah dengan keimanan. Allah Ta’ala berfirman,“Sungguh pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf:37)

 Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, 
“Carilah hatimu ditiga tempat:
Ketika mendengarkan Al-Qur’anDi majelis dzikir (majelis yang disebut nama Allah dan diajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan hukum-hukumnya), Di waktu-waktu engkau bersendiri (di waktu munajat kepada Allah). Apabila engkau tidak dapati hatimu di tempat-tempat ini, maka mohonlah kepada Allah, agar Allah menganugerahkan “hati” kepadamu, karena sesungguhnya engkau tidak mempunyai ‘hati.’ ”

         Beliau rahimahullah juga berkata, “Hati memiliki enam tempat yang ia berkelana padanya; tidak ada yang ketujuh. Tiga diantaranya merupakan tempat yang hina, dan tiga lainnya justru merupakan tempat yang mulia. Tiga tempat yang hina adalah: 1. Dunia yang selalu menggodanya, 2. Nafsu yang selalu membisikinya, 3. Musuh yang selalu menyesatkannya. Ketiga tempat ini adalah tempat jiwa-jiwa yang renda, yang ia senantiasa berkelana padanya.
Adapun tiga tempat yang mulia adalah: 1. Amal yang jelas baginya, 2. Akal yang memberikan petunjuk kepadanya, dan 3. Rabb yang selalu disembahnya. Ketiga tempat inilah yang menjadi tempat berkelana hati yang bersih.”
Pada posisi yang rendah seperti itulah, maka kadar iman akan menurun dalam hati, dan sebaliknya pada posisi atas, maka kadar iman akan bertambah dalam hati. Iman selalu bertambah dan berkurang. Bertambahnya iman dengan ketaatan pada Allah SWT dan berkurangnya iman dengan sebab perbuatan dosa dan maksiat. Karena itu hati manusia wajib diisi dengan iman dan keyakinan yang benar dengan mentauhidkan Allah, menjauhkan segala macam  perbuatan syirik. Apabila hati ini baik maka seluruh anggota tubuh-pun akan baik. Nabi SAW bersabda,
“…Ingatlah sesungguhnya didalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan apabila ia buruk, maka buruk pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.” (HR.Bukhari no.52 dan Muslim no.1599)
Abu Hurairah ra pun mengatakan,
“Hati ibarat raja, sedangkan anggota badan ibarat pasukannya, apabila rajanya baik maka baik pula pasukannya, apabila buruk rajanya maka buruk pula pasukannya.”
Hati ada yang sehat, sakit, dan mati. Oleh karena itu seorang mukmin wajib mengisi hatinya dengan hal-hal yang bermanfaat. Sebab kalau tidak, maka hatinya akan terkena penyakit. Penyakit inilah yang menjadi kendala terbesar bagi iman dihati, terutama apalagi hati itu terjangkit penyakit-penyakit seperti dengki, dendam, benci kepada orang, sombong, angkuh, cinta dunia, maka sedikit demi sedikit hati akan menjadi kosong (hatinya berpenyakit dan berkurang imannya). Dan barang siapa yang sampai pada tingkat demikian, maka sesungguhnya ia telah menzhalimi dirinya sendiri. Allah SWT berfirman:
“Apakah (ketidakhadiran mereka karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu  ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku dzalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS.An-Nuur:50)
Adapun orang-orang yang shalih, memenuhi dan menghiasi hatinya dengan iman, serta berusaha  agar keimanannya terus bertambah, maka ia benar-benar berusaha untuk berbuat adil bagi dirinya, menjauhkannya dari kezhaliman, dan membersihkan hatinya dari penyakit-penyakit hati yang mengotorinya, serta senantiasa istiqomah sesuai dengan jalan yang dikehendaki  oleh Allah, yaitu berjihad dan berjuang melawan hawa nafsu serta menundukkan hati untuk taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW.  Dan mengerjakan perbuatan yang diridhoi Allah SWT.
Apabila hati kita tidak sibuk dengan hal-hal positif, maka ia akan menyibukkan kita dengan kebatilan. Menyibukkan hati dengan kebaikan ialah dengan menyucikan, mendidik, dan menarik tali kekangnya dari perkara yang batil. Karena jika tidak demikian, hati akan senantiasa terbiasa bersinggungan dengan keburukan dan terus menerus menyimpang dari jalan yang lurus, yang pada akhirnya akan menyengsarakan diri sendiri.
Allah SWT berfirman,
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS.Asy-Syams: 9-10)
Maknanya adalah: beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya , yaitu dengan melakukan ketaatan kepada Allah dan membersihkannya dari akhlak-akhlak yang tercela dan hal-hal yang hina. Hal ini diriwayatkan dari Qatadah, Mujahid , Ikrimah, dan Sa’id bin Jubair. Dan sebagaimana firman Allah SWT, “sungguh beruntung orang yang mensucikan diri (dengan beriman), dan mengingat Rabb-Nya lalu ia shalat.” (QS. Al-‘Alaa: 14-15).
“Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” Maksudnya, mengotorinya dengan berbuat maksiat dan meninggalkan ketaatan kepada Allah SWT. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “menyucikan jiwa lebih berat dan lebih sulit daripada mengobati luka di badan. Barangsiapa menyucikan dirinya dengan latihan spiritual, berjuang, dan menyepi (menyendiri/betapa) yang tidak dicontohkan oleh para Rasul, maka kondisinya seperti orang sakit yang mengobati dirinya dengan ra’yunya (dengan kebodohannya). Bagaimana akan sembuh kalau dia tidak bertanya kepada dokter (hati)? Para Rasulullah adalah dokter-dokter hati. Oleh karena itu, tidak ada jalan untuk membersihkan hati, menyucikan jiwa, dan memperbaikinya kecuali dengan jalan dan cara yang ditempuh dan diajarkan oleh para Rasul, dengan taat, tunduk, dan berserah diri, kepada Rasulullah SAW.

Allahul Musta’aan…


sumber: Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Waktumu Dihabiskan Untuk Apa?
Share:

0 komentar:

Posting Komentar