Minggu, 05 Januari 2020

Kekosongan Hati

Hati adalah bagian dari organ tubuh manusia. Jika ia hidup, maka hiduplah seluruh tubuhnya. Sebaliknya, jika hati sudah mati, maka matilah seluruh tubuhnya. Hati laksana bejana tempat bersemayamnya iman dan juga hawa nafsu. Allah SWT berfirman,
         “Dan ketahuilah bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah. Kalau dia menuruti (kemauan) kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. Al-Hujurat:7)
         Allah SWT menjelaskan di sini, bahwa memenuhi kekosongan hati haruslah dengan keimanan. Allah Ta’ala berfirman,“Sungguh pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf:37)

 Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, 
“Carilah hatimu ditiga tempat:
Ketika mendengarkan Al-Qur’anDi majelis dzikir (majelis yang disebut nama Allah dan diajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan hukum-hukumnya), Di waktu-waktu engkau bersendiri (di waktu munajat kepada Allah). Apabila engkau tidak dapati hatimu di tempat-tempat ini, maka mohonlah kepada Allah, agar Allah menganugerahkan “hati” kepadamu, karena sesungguhnya engkau tidak mempunyai ‘hati.’ ”

         Beliau rahimahullah juga berkata, “Hati memiliki enam tempat yang ia berkelana padanya; tidak ada yang ketujuh. Tiga diantaranya merupakan tempat yang hina, dan tiga lainnya justru merupakan tempat yang mulia. Tiga tempat yang hina adalah: 1. Dunia yang selalu menggodanya, 2. Nafsu yang selalu membisikinya, 3. Musuh yang selalu menyesatkannya. Ketiga tempat ini adalah tempat jiwa-jiwa yang renda, yang ia senantiasa berkelana padanya.
Adapun tiga tempat yang mulia adalah: 1. Amal yang jelas baginya, 2. Akal yang memberikan petunjuk kepadanya, dan 3. Rabb yang selalu disembahnya. Ketiga tempat inilah yang menjadi tempat berkelana hati yang bersih.”
Pada posisi yang rendah seperti itulah, maka kadar iman akan menurun dalam hati, dan sebaliknya pada posisi atas, maka kadar iman akan bertambah dalam hati. Iman selalu bertambah dan berkurang. Bertambahnya iman dengan ketaatan pada Allah SWT dan berkurangnya iman dengan sebab perbuatan dosa dan maksiat. Karena itu hati manusia wajib diisi dengan iman dan keyakinan yang benar dengan mentauhidkan Allah, menjauhkan segala macam  perbuatan syirik. Apabila hati ini baik maka seluruh anggota tubuh-pun akan baik. Nabi SAW bersabda,
“…Ingatlah sesungguhnya didalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan apabila ia buruk, maka buruk pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.” (HR.Bukhari no.52 dan Muslim no.1599)
Abu Hurairah ra pun mengatakan,
“Hati ibarat raja, sedangkan anggota badan ibarat pasukannya, apabila rajanya baik maka baik pula pasukannya, apabila buruk rajanya maka buruk pula pasukannya.”
Hati ada yang sehat, sakit, dan mati. Oleh karena itu seorang mukmin wajib mengisi hatinya dengan hal-hal yang bermanfaat. Sebab kalau tidak, maka hatinya akan terkena penyakit. Penyakit inilah yang menjadi kendala terbesar bagi iman dihati, terutama apalagi hati itu terjangkit penyakit-penyakit seperti dengki, dendam, benci kepada orang, sombong, angkuh, cinta dunia, maka sedikit demi sedikit hati akan menjadi kosong (hatinya berpenyakit dan berkurang imannya). Dan barang siapa yang sampai pada tingkat demikian, maka sesungguhnya ia telah menzhalimi dirinya sendiri. Allah SWT berfirman:
“Apakah (ketidakhadiran mereka karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu  ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku dzalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS.An-Nuur:50)
Adapun orang-orang yang shalih, memenuhi dan menghiasi hatinya dengan iman, serta berusaha  agar keimanannya terus bertambah, maka ia benar-benar berusaha untuk berbuat adil bagi dirinya, menjauhkannya dari kezhaliman, dan membersihkan hatinya dari penyakit-penyakit hati yang mengotorinya, serta senantiasa istiqomah sesuai dengan jalan yang dikehendaki  oleh Allah, yaitu berjihad dan berjuang melawan hawa nafsu serta menundukkan hati untuk taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW.  Dan mengerjakan perbuatan yang diridhoi Allah SWT.
Apabila hati kita tidak sibuk dengan hal-hal positif, maka ia akan menyibukkan kita dengan kebatilan. Menyibukkan hati dengan kebaikan ialah dengan menyucikan, mendidik, dan menarik tali kekangnya dari perkara yang batil. Karena jika tidak demikian, hati akan senantiasa terbiasa bersinggungan dengan keburukan dan terus menerus menyimpang dari jalan yang lurus, yang pada akhirnya akan menyengsarakan diri sendiri.
Allah SWT berfirman,
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS.Asy-Syams: 9-10)
Maknanya adalah: beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya , yaitu dengan melakukan ketaatan kepada Allah dan membersihkannya dari akhlak-akhlak yang tercela dan hal-hal yang hina. Hal ini diriwayatkan dari Qatadah, Mujahid , Ikrimah, dan Sa’id bin Jubair. Dan sebagaimana firman Allah SWT, “sungguh beruntung orang yang mensucikan diri (dengan beriman), dan mengingat Rabb-Nya lalu ia shalat.” (QS. Al-‘Alaa: 14-15).
“Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” Maksudnya, mengotorinya dengan berbuat maksiat dan meninggalkan ketaatan kepada Allah SWT. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “menyucikan jiwa lebih berat dan lebih sulit daripada mengobati luka di badan. Barangsiapa menyucikan dirinya dengan latihan spiritual, berjuang, dan menyepi (menyendiri/betapa) yang tidak dicontohkan oleh para Rasul, maka kondisinya seperti orang sakit yang mengobati dirinya dengan ra’yunya (dengan kebodohannya). Bagaimana akan sembuh kalau dia tidak bertanya kepada dokter (hati)? Para Rasulullah adalah dokter-dokter hati. Oleh karena itu, tidak ada jalan untuk membersihkan hati, menyucikan jiwa, dan memperbaikinya kecuali dengan jalan dan cara yang ditempuh dan diajarkan oleh para Rasul, dengan taat, tunduk, dan berserah diri, kepada Rasulullah SAW.

Allahul Musta’aan…


sumber: Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Waktumu Dihabiskan Untuk Apa?
Share:

Rabu, 01 Januari 2020

Kisah Ummu Habibah Ra. dan Cobaan Hidupnya


Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat?
Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika mendengar penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau rnenikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa: Nabi itu lebih utama daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi orang yang beriman.
Keistimewaan Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori perientangan terhadap dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan.


Masa Kecil dan Nasab Pertumbuhannya
Ummu Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Uinayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan r.a.. Sejak kecil Ummu Habibah terkenal memiliki kepribadian yang kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan sangat cantik.



Pernikahan, Hijrah, dan Penderitaannya
Ketika usia Ramlah sudah cukup untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy mempersunting- nya, dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Ibrahirn a.s.. Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi, serta berjanji untuk memerangi agama berhala. Ramlah sadar bahwa dirinya telah menikah dengan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti kaumnya yang membuat dan menyembah patung-patung. Di dalarn hatinya terbersit keinginan untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim a.s.

Sementara itu, di Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama baru, yaitu agama Samawi yang berbeda dengan agama orang Quraisy pada umumnya. Mendengar kabar itu, hati Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama baru itu. Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam bersamanya.
Mendengar misi Muhammad berhasil dan maju pesat, orang-orang Quraisy menyatakan perang terhadap kaum muslimin sehingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Di antara mereka terdapat Ramlah dan suaminya, Ubaidillah bin Jahsy. Setelah beberapa lama mereka menanggung penderitaan berupa penganiayaan, pengasingan, bahkan pengusiran dan keluarga yang terus mendesak agar mereka kembali kepada agama nenek moyang. Ketika itu Ramlah tengah mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah lahir yang kemudian diberi nama Habibah. Dari nama bayi inilah kemudian nama Ramlah berubah menjadi Ummu Habibah.
Selama mereka di Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin di Mekah semakin kuat dan jumlahnya bertambah sehingga mereka menetapkan untuk kembali ke negeri asal mereka. Sementara itu, Ummu Habibah dan suaminya memilih untuk menetap di Habasyah. Di tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin yang akan kembali ke Mekah mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan orang-orang musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum muslimin. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Habasyah.
Beberapa tahun tinggal di Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan kesedihan akan cepat berlalu dan barisan kaum muslimin menjadi kuat, namun kesedihan belum habis. Kondisi itulah yang menyebabkan Ubaidillah memiliki keyakinan bahwa kaum muslimin tidak akan pernah kuat. Tampaknya dia sudah putus asa sehingga sedikit demi sedikit hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.
Ummu Habibah mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, “Aku melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan berkata, ‘Demi Allah, keadaannya telah berubah.’ Pagi harinya Ubaidillah berkata, ‘Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani.’ Aku berkata, ‘Sungguhkah hal itu baik bagimu?’ Kemudian aku ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat, namun dia tidak mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman keras sehingga merenggut nyawanya.”
Demikianlah, Ubaidillah keluar dan agama Islam yang telah dia pertaruhkan dengan hijrah ke Habasyah, dengan menanggung derita, meninggalkan kampung halaman bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Ubaidillah pun berusaha mengajak istrinya untuk keluar dari Islam, namun usahanya sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam Islam dan memertahankannya hingga suaminya meninggal. Ummu Habibah merasa terasing di tengah kaum muslimin karena merasa malu atas kernurtadan suaminya. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke Mekah, padahal orang tuanya, Abu Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan kaurn muslimin. Dalam keadaan seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya tidak aman lagi baginya, sementara keluarga suarninya telah meeninggalkan rumah mereka karena telah bergabung dengan Rasulullah. Akhirnya, dia kembali ke Habasyah dengan tanggungan derita yang berkepanjangan dan menanti takdir dari Allah.


Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. selalu memantau keadaan umat Islam, tidak saja yang berada di Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di Habasyah. Ketika memantau Habasyahlah beliau mendengar kisah tentang Ummu Habibah yang ditinggalkan Ubaidillah dengan derita yang ditanggungnya selama ini. Hati beliau terketuk dan berniat menikahinya.

Ummu Habibah menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia berkata, “Dalam tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan Ummul-Mukminin. Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan menikahiku.” Dia melanjutkan, “Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis. Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah, seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada pakaian raja. Dia berkata, ‘Raja berkata kepadamu, ‘Rasulullah mengirimku surat agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.” Aku menjawab, ‘Allah memberimu kabar gembira dengan membawa kebaikan.’ Dia berkata lagi, ‘Raja menyuruhmu menunjuk seorang wali yang hendak rnengawinkanmu’. Aku menunjuk Khalid bin Said bin Ash sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki yang ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di jari kakiku atas kegembiraanku karena kabar yang dibawanya.” Ummu Habibah kembali dan Habasyah bersarna Syarahbil bin Hasanah dengan membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah.
Berita pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah merupakan pukulan keras bagi Abu Sufyan. Tentang hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orangorang yang kamu musuhi di antara mereka. …“
 (QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.


Hidup bersama Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.
Rasululullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. mengutus Amru bin Umayyah ke Habasyah dengan membawa dua tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk kembali ke negeri mereka (Madinah) karena posisi kaum muslimin sudah kuat serta untuk meminang Ummu Habibah untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka mendengar berita kernenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di Khaibar. Kegembiraan itu pun mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka telah kembali dan Habasyah. Rasulullah menyambut mereka yang kembali dengan suka cita, terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu Habibah ke dalarn rumah, yang ketika itu bersarnaan juga dengan pernikahan beliau dengan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi Khaibar yang ditawan tentara Islam. Ketika itu Nabi mernbebaskan dan menikahinya. Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut kedatangan Ummu Habibah dengan hangat dan rasa hormat, berbeda dengan penyambutan mereka terhadap Shafiyyah.

Perjalanan hidup Ummu Habibah di tengah keluarga Rasulullah tidak banyak menimbulkan konflik antar istri atau mengundang amarah beliau. Selain itu, belum juga ada riwayat yang mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah yang menunjukkan rasa cemburu.


Posisi yang Sulit
Telah kita sebutkan di atas tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di antara istri-istri Rasulullah. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum musyrik ketika Ummu Habibah mendapat cahaya keimanan, dan dia menghadapi kesulitan ketika harus menjelaskan keyakinan itu kepada orang tuanya.

Orang-orang Quraisy mengingkari perjanjian yang telah mereka tanda-tangani di Hudaibiyah bersama Rasulullah. Mereka menyerang dan membantai Bani Qazaah yang telah terikat perjanjian perlindungan dengan kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal itu, Rasulullah berinisiatif menyerbu Mekah yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan dan keluarga Ummu Habibah. Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum muslimin akan menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani Qazaah yang mereka lakukan. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum muslimin sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan yang dikenal dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi untuk berdamai dengan Rasulullah.
Sesampainya di Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah, tetapi terlebih dahulu rnenemui Ummu Habibah dan berusaha rnemperalat putrinya itu untuk kepentingannya. Betapa terkejutnya Ummu Habibah ketika melibat ayahnya berada di dekatnya setelah sekian tahun tidak berjumpa karena dia hijrah ke Habasyah. Di sinilah tampak keteguhan iman dan cinta Ummu Habibah kepada Rasulullah. Abu Sufyan menyadari keheranan dan kebingungan putrinya, sehingga dia tidak berbicara. Akhirnya Abu Sufyan masuk ke kamar dan duduk di atas tikar. Melihat itu, Ummu Habibah segera melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu Sufyan. Abu Sufyan sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata, “Apakah kau melipat tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau rnenyingkirkannya dariku?” Ummu Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas duduk Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atasnya.” Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan merasakan pukulan berat yang tidak diduga dari putrinya. Dia merasa bahwa usahanya untuk menggagalkan serangan kaurn muslimin ke Mekah telah gagal. Ummu Habibah telah menyadari apa yang akan terjadi. Dia yakin akan tiba saatnya pasukan muslim menyerbu Mekah yang di dalarnnya terdapat keluarganya, namun yang dia ingat hanya Rasulullah. Dia mendoakan kaum muslimin agar rnemperoleh kemenangan.
Allah mengizinkan kaum muslimin untuk mernbebaskan Mekah. Rasulullah bersama ribuan tentara Islam memasuki Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan ribu tentara. Dia merasa bahwa telah tiba saatnya kaum muslimin membalas sikapnya yang selama ini menganiaya dan menindas mereka. Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya memeluk Islam. Abu Sufyan menerrna ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya dengan kerendahan diri. Abbas, paman Rasulullah, meminta beliau menghormati Abu Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas kebesarannya. Abbas berkata, “Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang sangat suka disanjung.” Di sini tampaklah kepandaian dan kebijakan Rasulullah. Beliau menjawab, “Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat. Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan selamat.” Begitulah Rasulullah menghormati kebesaran seseorang, dan Allah telah memberi jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan Ummu Habibah dengan keislaman ayahnya.


Akhir sebuah Perjalanan
Setelah Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kejadian fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak berpihak kepada siapa pun. Bahkan ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, berkuasa, sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi tertentu. Dia juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata pun ketika bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara hadits yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rasulullah bersabda,

“Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya Allah akan membangun baginya rumah di surga.’ Ummu Habibah berkata, “Sungguh aku tidakpernah meninggalkannya setelab aku mendengar dari Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.” (HR. Muslim)
Ummu Habibah wafat pada tahun ke-44 hijrah dalarn usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya dikuburkan di Baqi’ bersama istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah memberinya kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh berkah. Aamiin.




Share:

Fatimah Az Zahra Berkunjung ke Rumah Wanita Yang Pertama Masuk Syurga


Suatu ketika, Siti fatimah bertanya kepada Rosulullah. Siapakah Perempuan yang kelak pertama kali masuk surga? 
Rosulullah menjawab:” Dia adalah seorang wanita yang bernama Muti’ah”.

Siti Fatimah terkejut. Ternyata bukan dirinya, seperti yang dibayangkannya. Mengapa justru orang lain, padahal dia adalah putri Rosulullah sendiri? Maka timbullah keinginan fatimah untuk mengetahui siapakan gerangan permpuan itu? Dan apakah yang telah di perbuatnya hingga dia mendapat kehormatan yang begitu tinggi?

Setelah minta izin kepada suaminya, Ali Bin Abi Thalib, Siti Fatimah berngkat mencari rumah kediaman Muti’ah. Putranya yang masih kecil yang bernama Hasan diajak ikut serta.
Ketika tiba di rumah Muti’ah, Siti Fatimah mengetuk pintu seraya memberi salam, “Assalamu’alaikum…!”
“Wa’alaikumussalaam! Siapa di luar?” terdengar jawaban yang lemah lembut dari dalam rumah. Suaranya cerah dan merdu.
“Saya Fatimah, Putri Rosulullah,” sahut Fatimah kembali.
“Alhamdulillah, alangkah bahagia saya hari ini Fatimah, putri Rosululah, sudi berkunjung ke gubug saya,” terdengar kembali jawaban dari dalam. Suara itu terdengar ceria dan semakin mendekat ke pintu.
“Sendirian, Fatimah?” tanya seorang perempuan sebaya dengan Fatimah, Yaitu Muti’ah seraya membukakan pintu.
“Aku ditemani Hasan,” jawab Fatimah.
“Aduh maaf ya,” kata Muti’ah, suaranya terdengar menyesal. Saya belum mendapat izin dari suami saya untuk menerima tamu laki-laki.”
“Tapi Hasan kan masih kecil?” jelas Fatimah.
“Meskipun kecil, Hasan adalah seorang laki-laki. Besok saja Anda datang lagi, ya? saya akan minta izin dulu kepada suami saya,” kata Mutiah dengan menyesal.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala , Fatimah pamit dan kembali pulang.

Besoknya, Fatimah datang lagi ke rumah Muti’ah, kali ini ditemani oleh Hasan dan Husain. Beritga mereka mendatangi rumah Muti’ah. Setelah memberi salam dan dijawab gembira, masih dari dalam rumah Muti’ah bertanya:
“Kau masih ditemani oleh Hasan, Fatimah? Suami saya sudah memberi izin.” “Ha? Kenapa kemarin tidak bilang? Yang dapat izin cuma Hasan, dan Husain belum. Terpaksa saya tidak bisa menerimanya juga, “ dengan perasaan menyesal, Muti’ah kai ini juga menolak.

Hari itu Fatimah gagal lagi untuk bertemu dengan Muti’ah. Dan keesokan harinya Fatimah kembali lagi, mereka disambut baik oleh perempuan itu dirumahnya.
Keadaan rumah Mutiah sangat sederhana, tak ada satupun perabot mewah yang menghiasi rumah itu. Namun, semuanya teratur rapi. Tempat tidur yang terbuat dengan kasar juga terlihat bersih, alasnya yang putih, dan baru dicuci. Bau dalam ruangan itu harum dan sangat segar, membuat orang betah tinggal di rumah.

Fatimah sangat kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu, sehngga Hasan dan Husain yang biasanya tak begitu betah betah berada di rumah orang, kali ini nampak asyik bermain-main.
“Maaf ya, saya tak bisa menemani Fatimah duduk dengan tenang, sebab saya harus menyiapkan makan buat suami saya,” kata Mutiah sambil mondar mandir dari dapur ke ruang tamu.

Mendekati tengah hari , maskan itu sudah siap semuanya, kemudian ditaruh di atas nampan. Mutiah mengambil cambuk, yang juga ditaruh di atas nampan.
“Suamimu bekerja dimana?” Tanya Fatimah
“Di ladang,” jawab Muti’ah.
“Pengembala?” Tanya Fatimah lagi.
“Bukan. Bercocok tanam.”
“Tapi, mengapa kau bawakan cambuk?”
“Oh, itu?” sahut Mutiah denga tersenyum.” Cambuk itu kusediakan untuk keperluan lain. Maksudnya begini, kalau suami saya sedang makan, lalu kutanyakan apakah masakan saya cocok atau tidak? Kalau dia mengatakan cocok, maka tak akan terjadi apa-apa. Tetapi kalau dia bilang tidak cocok, cambuk itu akan saya berikan kepadanya, agar punggung saya dicambuknya, sebab berarti saya tidak bisa melayani suami dan menyenangkan hatinya.”
“Apakah itu kehendak suamimu?” Tanya Fatimah keheranan.
“Oh, bukan! Suami saya adalah seorang penuh kasih sayang. Ini semua adalah kehendakku sendiri, agar aku jangan sampai menjadi istri yang durhaka kepada suami.”
Mendengar penjelasan itu, Fatimah menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia meminta diri, pamit pulang.
“Pantas kalau Muti’ah kelak menjadi seorang perempuan yang pertama kali masuk surga,” kata Fatimah dalam hati, di tengah perjalannya pulang, “Dia sangat berbakti kepada suami dengan tulus. Prilaku kesetiaan semacam itu bukanlah lambing perbudadakan wanita oleh kaum lelaki, Tapi merupakan cermin bagi citra ketulusan dan pengorbanan kaum wanita yang harus dihargai dengan prilaku yang sama.”
tak hanya itu, saat itu masih ada benda kipas dan kain kecil.

“Buat apa benda ini Muthi’ah?” Siti Muthi’ah tersenyam malu. Namun setelah didesak iapun bercerita. 

“Engkau tahu Fatimah, suamiku seorang pekerja keras memeras keringat dari hari ke hari. Aku sangat sayang dan hormat kepadanya. Begitu kulihat ia pulang kerja, cepat-cepat kusambut kedatangannya. Kubuka bajunya, kulap tubuhnya dengan kain kecil ini hingga kering keringatnya. Ia-pun berbaring ditempat tidur melepas lelah, lalu aku kipasi beliau hingga lelahnya hilang atau tertidur pulas”

Sungguh mulia Siti Muthi’ah, wanita yang taat kepada suaminya. maka tidaklah salah jika dia wanita pertama yang masuk surga.



Share:

Keindahan Arsitektur Islam Peninggalan Daulah Utsmaniyyah



Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgb3t1LllYNHm3lQUHT6-pF4CA02FNRq9-hv9FpWaoVO_ih1uAvnshVprhciGGHeQC-rg6xU1nW5OoB2Hby7zgJzJHfA-hXTRDd1aTmLluXERQ9MvEt0-jCUQf_gFkzvnntKmRLW78SV_XA/s320/blue+mosque.jpg
 https://id.pinterest.com/pin/604115737494229146/

         Ada ribuan masjid dengan arsitektur yang indah yang dibangun di Turki sejak berabad yang lalu di masa pemerintahan daulah Saljuk dan daulah Utsmaniyah. Masjid-masjid yang bernilai historis banyak dibangun di Istanbul, kota yang menjadi peradaban Islam setelah sukses ditaklukkan oleh Sultan Muhammad Al Fatih pada tahun 1453 M. Blue Mosque atau yang dikenal sebagai masjid Sultan Ahmed merupakan salah satu masjid bernilai historis tinggi peninggalan Utsmani dari abad pertengahan. Blue mosque dibangun dan dirancang oleh Sedefkar Mehmed Agha, salah satu murid arsitek dan civil engineer ternama Turki Utsmani, Mimar Sinan.
    Mahakarya Mimar Sinan antara lain masjid Suleymaniye, masjid Atik Valide, jembatan Buyukcemece di Istanbul dan jembatan Sokollu Mehmed Pasha di Bosnia. Blue Mosque dibangun di masa Sultan Ahmed I sejak tahun 1616 M dan didirikan di dekat masjid Hagia Sophia dan Istana Topkapi yang kini menjadi museum. Blue mosque didirikan di atas tanah yang dahulunya berdiri di istana kekaisaran Bizantium dan juga Hippodrome, stadium yang di masa klasik digunakan sebagai area pacuan kuda. Sultan Ahmed I memerintahkan mendirikan Blue Mosque untuk merayakan kemenangan Utsmani melawan pemberontak Celadi di Anatolia. Selama berkuasa Sultan Ahmed I berperang melawan dari 3 front yakni kerajaan Hungaria, Syiah, Syafawiah dan kelompok pemberontak Celadi di Anatolia. Sultan Ahmed I adalah pemimpin yang taat pada Allah subhaanahu wa ta'alaa, tawadhu, dan suka bermusyawarah dengan para ulama dan cendekiawan untuk pengambilan keputusan. Sultan Ahmed I wafat akibat penyakit tipus satu tahun setelah masjid kebanggannya selesai dibangun. Sultan wafat di usia 28 tahun dan disemayamkan di dekat masjidnya. Pada komplek Blue Mosque selain ada makam Sultan Ahmed I, dibangun juga madrasah, dapur umum, bazar, taman dan tempat penginapan,
      Blue Mosque adalah satu-satunya masjid di Istanbul yang memiliki enam menara. Blue Mosque juga memiliki lima kubah utama dan delapan kubah kecil. Gaya arsitekturnya merupakan perpaduan antara gaya Romawi yang terinspirasi dari Hagia Sophia dan gaya arsitektur Islam. Bagian interior masjidnya dihiasi dengan keramik kutahnya dengan dominasi warna biru. Dari sanalah masjid ini diberi nama Blue Mosque. Ornamen bunga dan tanaman memendarkan warna biru saat ditempa cahaya matahari yang masuk lewat 260 jendela kaca patri. Kaligrafi bertuliskan ayat al Qur'an menghias dindingnya. Kaligrafi indah tersebut ditulis oleh seniman kaligrafer ternama dari abad ke-17, Seyyid Kasim Gubari. Masjid ini didesain khusus agar dalam kondisi penuh sekalipun, semua jamaah bisa mendengar lantunan ayat suci yang dibacakan imam.
      Hingga saat ini Blue Mosque tetap digunakan sebagai tempat ibadah. Saat shalat Jum'at dan shalat 'Ied, masjid ini mampu menampung sepuluh ribu jamaah. Blue Mosque juga menjadi tujuan utama para turis yang berkunjung ke Istanbul. Di waktu shalat tiba, turis non-muslim tidak diizinkan ke ruang utama.
"Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian..." (QS. At Taubah [9] : 18)

Sumber :
Youtube : Cordova Media
https://www.youtube.com/watch?v=v9TeZmopE_U








Share:

Kisah Dua Penerbang Muslim Asal Andalusia dan Turki Utsmani


Salah satu impian manusia sejak lama adalah membelah langit, terbang ke angkasa sebagaimana seekor burung. Dan mimpi tersebut pertamakali berhasil diwujudkan oleh seorang muslim yang hidup di masa ketika peradaban Islam menjadi Sokoguru peradaban dunia. Dia adalah Abu Al Qasim, Abbas bin Firnas bin Wirdas at Takurini al Andalusi al Qurthubi lahir pada tahun 810 M. Dia lahir di kota Ronda dan menghabiskan hidupnya di Cordova, ibukota Andalusia (Spanyol dan Portugal saat ini). Kota Cordova saat itu merupakan kiblat ilmu pengetahuan dan salah satu tempat favorit para penuntut ilmu dari Asia, Eropa dan Afrika. Abbas bin Firnas memulai petualangan ilmu pengetahuannya dengan mempelajari al Qur’an di sebuah Kuttab di wilayah Cordova. Ketika dewasa dia mengabdikan dirinya pada pemerintahan Abdurrahman Al Awsath bin Al Hakam bin Hisyam bin Abdurrahman Ad Dakhil.

Sebagaimana kebanyakan ulama dan ilmuwan muslim saat itu, Abbas bin Firnas juga adalah seorang polymath, yakni seseorang yang menguasai banyak ilmu pengetahuan. Dia adalah seorang penemu, filosof dan juga penyair. Dia menguasai ilmu kimia, Teknik, kedokteran, astronomi, syair dan musik. Beberapa karyanya antara lain : Jam air bernama  Al Maqata, alat hitung bernama  Al Munaqalah, kaca pembesar untuk membaca, alat simulasi pergerakan planet dan bintang. Planetarium yang terbuat dari kaca dan Teknik pemotongan kristal. Karyanya yang paling fenomenal dan membuat Namanya harum hingga saat ini adalah alat terbang. Karya tersebut mendahului alat terbang yang didesain oleh Leonardo da Vinci yang hidup tahun 600 tahun kemudian. Rancangan da Vinci masih dalam bentuk sketsa dan tidak pernah direalisasikan.

Uji coba terbang perdananya dilakukan di tahun 852 dari puncak menara masjid Agung Cordova (Mezquita de Cordoba). Saat itu dia menggunakan semacam parasut yang dilengkapi dengan penopang kayu. Percobaan saat itu gagal. Namun dia tidak menyerah. 20 tahun setelah itu dia menyempurnakan alat terbangnya yang telah dilengkapi dengan sepasang sayap. Di usia hampir 70 tahun, Abbas bin Firnas kembali mencoba untuk membelah langit dengan alat terbangnya tersebut. Dia kemudian terbang sekitar beberapa menit dia berhasil mengangkasa. Namun saying pendaratannya tidak berjalan dengan mulus. Abbas bin Firnas melesat jatuh ke bumi. Dia selamat dalam insiden tersebut namun alat terbangnya rusak dan salah satu ruas belakangnya patah. Pada akhirnya dia menyadari bahwa desain alatnya tidak dilengkapi dengan ekor yang menjadi penyeimbang ketika mendarat.

Dia tak sempat menyempurnakan alatnya dan melakukan uji coba terbang lagi karena sakit akibatnya terjatuh sebelumnya dan usianya yang sudah tidak muda lagi. Kisah penerbangan perdananya kemudian viral ke seluruh penjuru Eropa dan kemungkinan menjadi inspirasi seorang rahib dari Inggris, Elimer of Malmesbury yang juga berhasil membuat alat terbang tiga abad setelahnya. Malangnya dia juga jatuh sebagaimana Abbas bin Firnas. Nama Abbas bin Firnas diabadikan menjadi nama observatorium di kota kelahirannya, Ronda dan jembatan di kota Cordova, Spanyol IAU (Internasional Astronomical Union) juga mengabadikan Namanya menjadi salah satu nama kawah yang ada di permukaan bulan.

Penerbangan kedua berasal Turki Utsmani. Dia adalah seorang pemuda  bernama Hazerfan Ahmad Celebi. Hezarfan hidup di masa pemerintahan Sultan Murad IV (1032-1049 H/1622-1639 M) yang dikenal sebagai pendiri kedua daulah Utsmaniyah. Hezarfen sendiri berasal dari gabungan Bahasa Persia: Hazar  dan Arab: Fan yang bermakna “1000 ilmu pengetahuan”. Gelar Hezarfen tersebut diberikan oleh Evliya Celebi, seorang penjelajah Tuki Utsmani yang menulis buku berjudul Seyahatname (Book of Travel). Saudara Hezarfen, Lagari Hasan Celebi sebelumnya juga berhasil meluncur ke langit bersama roketnya yang berbahan bakar 60 bubuk mesiu.

Lagari Hasan Celebi meluncur dari istana Topkapi dan mendarat dengan selamat di laut menggunakan parasut sederhana. Alat terbang Hezarfen Ahmed Celebi terinspirasi dari struktur sayap burung yang dia teliti. Dia juga beberapa kali melakukan eksperimen untuk menguji kinerja alat terbang tersebut. Di tahun 1638 M, Hezarfen melakukan penerbangan perdananya di atas Menara Gallat setinggi 65,29 meter. Dari Menara Gellata yang berlokasi di Konstatinopel, wilayah Turki Utsmani bagian Eropa, dia terbang menuju selat Bosphorus. Dia kemudia mendarat dengan mulus di distrik Uskudar yang berada di Anatolia, Turki Utsmani bagian Asia. Sultan Murad Iv ikut menyaksikan aksi penerbangan tersebut dari mansion milik arsitek Sinan Pasha yang berada di Sarayburnu. Jarak yang ditempuh oleh Hezarfen Ahmed Celebi adalah sejauh 3,4 kilometer. Dia kemudian dikenal sebagai penerbang lintas benua pertama di dunia. Sultan Murad IV memberikan hadiah berupa ribuan koin emas atas prestasi bersejarah yang berhasil ditorehnya. Namun banyak yang tak suka keberhasilannya. Dia difitnah lalu kemudian diasingkan jauh dari Konstatinopel.

Sumber :
Youtube : Cordova Media


Share:

Selasa, 31 Desember 2019

Dibalik Lezatnya Madu

Madu merupakan bahan alami yang bermanfaat bagi tubuh. Madu berawal dari nektar yang dihasilkan oleh lebah. Madu alami jauh lebih berkhasiat ketimbang di kemasan yang telah tercampur oleh bahan-bahan lainnya. Di sisi lain, madu asli juga bersifat lebih kental daripada yang kemasan.

Madu memiliki rasa manis yang khas karena mengandung unsur monosakarida fruktosa dan glukosa yang lebih baik ketimbang gula. Madu mengandung kalori gula yang dapat menyerap lemak dengan baik, terutama apabila dikonsumsi bersamaan dengan air hangat.

Madu memiliki campuran senyawa fruktosa (38.5 persen) dan glukosa (31 persen). Selain itu, hasil produsen lebah ini juga memiliki kandungan karbohidrat seperti sukrosa, maltrosa, dan karbohidrat kompleks lainnya.Madu juga mengandung anti-oksidan dari senyawa chrysin, pinobaksin, vitamin C, katalase, dan pinocembrin. Semua kandungan tersebut tentunya sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh.

Madu sendiri merupakan 'produk asli' dari lebah. Sungguh luar biasa dan sangat istimewa sekali bukan? Madu yang bisa kita nikmati adalah hasil dari ribuan dan jutaan lebah yang selalu rajin dan bekerja sama. Tentu kita sering mendengar pepatah mengatakan 'Hiduplah seperti lebah'.  Karena lebah memang sangat bermanfaat dan bisa menjadi contoh bagi kita.x
Lebah salah satu hewan yang pekerja keras dan saling bekerja sama Dan juga merupakan tanda-tanda kebesaran dari Allah yang sudah seharusnya kita memuji-Nya. Seperti yang difirmankan dalam al Qur'an surat An Nah [16] ayat 68-69 yaitu :


وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ

Referensi: https://tafsirweb.com/4416-surat-an-nahl-ayat-68.html
وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ

Referensi: https://tafsirweb.com/4416-surat-an-nahl-ayat-68.html
وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ

Referensi: https://tafsirweb.com/4416-surat-an-nahl-ayat-68.html
وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ

Referensi: https://tafsirweb.com/4416-surat-an-nahl-ayat-68.html


“Dan Rabbmu mengilhamkan kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.’ (QS. 16:68) Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS. 16:69)” (an-Nahl: 68-69)

Yang dimaksud dengan wahyu di sini adalah ilham, petunjuk dan bimbingan bagi lebah, agar ia menjadikan gunung-gunung sebagai rumah yang menjadi tempat tinggal, juga pepohonan, serta tempat-tempat yang dibuat oleh manusia. Kemudian lebah-lebah itu membuat rumah-rumahnya dengan penuh ketekunan dalam menyusun dan menatanya, di mana tidak ada satu bagian pun yang rusak.

Selanjutnya, Allah Ta’ala memberi izin kepada lebah-lebah itu dalam bentuk ketetapan qadariyyah (Sunnatullah) dan pengerahan untuk memakan segala macam buah-buahan, berjalan di berbagai macam jalan yang telah dimudahkan oleh Allah, di mana ia bisa dengan sekehendaknya berjalan di udara yang agung ini dan juga daratan yang membentang luas, juga lembah-lembah, serta gunung-gunung yang tinggi menjulang. Kemudian masing-masing dari mereka kembali ke rumah-rumah mereka, tanpa ada satu pun yang keliru memasuki rumahnya baik sebelah kanan maupun kirinya, tetapi masing-masing memasuki rumahnya sendiri-sendiri, yang di dalamnya terdapat ribuan anak-anaknya dengan persediaan madu. Dia membangun sarang dari bahan yang ada di kedua sayapnya, lalu memuntahkan madu dari dalam mulutnya, dan bertelur dari duburnya.

Firman Allah Ta’ala: yakhruju mim buthuunihaa syaraabum mukhtalifun alwaanuhuu fiihi syifaa-ul lin naasi (“Dari perut lebah itu keluar minuman [madu] yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.”) Ada yang berwarna putih, kuning, merah, dan warna-warna lainnya yang indah sesuai dengan lingkungan dan makanannya.

Firman-Nya: fiihi syifaa-ul lin naasi (“Terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia,”) maksudnya, di dalam madu itu terdapat obat penyembuh bagi manusia. Sebagian orang yang berbicara tentang thibbun Nabawi (ilmu kedokteran Nabi) mengatakan, jika Allah mengatakan: “fiihisy-syifa’ lin nas”, berarti madu itu menjadi obat bagi segala macam penyakit, tetapi Dia mengatakan, “fiihi syifa’ linnas”, yang berarti bahwa madu itu bisa dipergunakan untuk obat penyakit kedinginan, karena madu itu panas. Penyakit itu selalu diobati dengan lawannya.
Dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala: fiihi syifaa-ul lin naasi (“Di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia,”) yaitu madu.

Setelah kita mengutip dari ayat di atas, terdapat juga hal yang tidak pernah kita sadari betapa Maha Cerdas nya Allah mengatur segala hal hingga sedetail mungkin. Pernahkah melihat sarang lebah? Bagaimana bentuk dari sarang lebah itu sendiri?

Bentuk sarang lebih adalah dikelilingi dengan bidang-bidang segienam (heksagonal) yang rapih. Sehingga terlihat apik dan seperti barisan yang sempurna. Yang jadi pertanyaan adalah mengapa bentuknya segienam? Mengapa tidak persegi atau persegi panjang? Mengapa tidak bulat atau oval?

Ternyata ada suatu kelebihan yang mungkin kita tidak sadari. Jika bentuk sarang lebah itu segienam, maka tetesan madu yang akan masuk ke sarang akan masuk ke berbagai sisi. Sehingga dapat terkumpul penuh dan tidak terdapat sudut yang tersisa. Dan juga membuat madu lebih banyak terkumpul di sarang.

Memanfaatkan Ruangan Secara Optimal
Menurut para ahli Matematika, struktur segienam merupakan bentuk yang paling cocok untuk memanfaatkan setiap area unit secara maksimal. Dengan begitu lebah madu dapat menggunakan sarang mereka secara optimal untuk menyimpan madu. Jika sel-sel sarang madu dibangun dengan bentuk lain, maka akan terdapat area yang tidak terpakai.Hal ini tentu menyebabkan lebih sedikitnya madu dapat yang dapat disimpan dan sedikit pula lebah yang memanfaatkannya.

Berbagai Macam Tugas Lebah
Lebah terbagi menjadi beberapa tingkatan yaitu ratu lebah, lebah jantan dan lebah pekerja. Pada umumnya Ratu lebah bisa menghasilkan telur, lebah jantan tidak memiliki sengatan dan bertugas menjaga makanan. Dan lebah pekerja mempunyai sengatan yang berbahaya, jumlahnya banyak dan mampu membuat rumah lebah, selain itu mereka juga mencari makanan untuk bayi lebah.
 
Perbedaan Antara Lebah dan Tawon
Lebah seringkali disamakan dengan insekta lain seperti tawon. Karena bentuknya yang mirip membuat siapapun yang melihat akan mengira bahwa lebah itu tawon dan juga sebaliknya. Jadi memang ada perbedaan dari lebah dan tawon. Lebah mempunyai bentuk yang lebih kecil dibandingkan tawon, memiliki warna coklat kekuningan sedangkan tawon cenderung gelap dan hitam, lebah mempunyai sarang sisiran kotak sedangkan tawon sarang gelantungan oval. Dan lebah menghasilkan madu sedangkan tawon tidak menghasilkan madu.

Produk-produk Lebah
 Ada beberapa produk yang bisa dihasilkan oleh lebah yang biasa pada umumnya selain madu yaitu :
1. Tepung sari lebah dapat digunakan sebagai suplemen vitamin E.
2. Royal jelly adalah makanan khusus ratu lebah yang mengandung protein yang tinggi.
3. Bipropolis biasanya dalam bentuk cairan (liquid), softgel, dan bisa digunakan untuk antiseptik dan antibiotik.
4. Madu adalah yang paling sering dihasilkan.
5. Bee wax digunakan untuk membuat lilin lebah. Dimana lilin lebah bisa digunakan untuk membuat     suatu produk untuk obat.
6. Bee fenom merupakan racun lebah yang digunakan untuk kesehatan dan ada zat melitin yang dapat berguna melancarkan peredaran darah.

Semoga bermanfaat ya dan mohon maaf jika terdapat kekurangan. Dan juga terimakasih telah membaca.

Sumber :
https://alquranmulia.wordpress.com/2015/09/18/tafsir-ibnu-katsir-surah-an-nahl-ayat-68-69/
https://www.edutafsi.com/2015/01/fakta-unik-sarang-lebah-madu.html
 



Share:

Fitnah dan Suara Wanita

Islam memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi
tugas (taklif) dan tanggung jawab yang utuh seperti
halnya laki-laki, yang kelak akan mendapatkan pahala
atau siksa sebagai balasannya. Tugas yang mula-mula
diberikan Allah kepada manusia bukan khusus untuk
laki-laki, tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan
istrinya (lihat kembali surat al-Baqarah: 35)

Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun nash Islam,
baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah sahihah, yang
mengatakan bahwa wanita (Hawa; penj.) yang menjadi
penyebab diusirnya laki-laki (Adam) dari surga dan
menjadi penyebab penderitaan anak cucunya kelak,
sebagaimana disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama.
Bahkan Al-Qur'an menegaskan bahwa Adamlah orang pertama
yang dimintai pertanggungjawaban 
(lihat kembali surat Thaha: 115-122).
Namun, sangat disayangkan masih banyak umat Islam yang
merendahkan kaum wanita dengan cara mengurangi
hak-haknya serta mengharamkannya dari apa-apa yang
telah ditetapkan syara'. Padahal, syari'at Islam
sendiri telah menempatkan wanita pada proporsi yang
sangat jelas, yakni sebagai manusia, sebagai perempuan,
sebagai anak perempuan, sebagai istri, atau sebagai
ibu.

Yang lebih memprihatinkan, sikap merendahkan wanita
tersebut sering disampaikan dengan mengatas namakan
agama (Islam), padahal Islam bebas dari semua itu.
Orang-orang yang bersikap demikian kerap menisbatkan
pendapatnya dengan hadits Nabi saw. yang berbunyi:

"Bermusyawarahlah dengan kaum wanita kemudian
langgarlah (selisihlah)."

Hadits ini sebenarnya palsu (maudhu'). Tidak ada
nilainya sama sekali serta tidak ada bobotnya ditinjau
dari segi ilmu (hadits).

Yang benar, Nabi saw. pernah bermusyawarah dengan
istrinya, Ummu Salamah, dalam satu urusan penting
mengenai umat. Lalu Ummu Salamah mengemukakan
pemikirannya, dan Rasulullah pun menerimanya dengan
rela serta sadar, dan ternyata dalam pemikiran Ummu
Salamah terdapat kebaikan dan berkah.
Mereka, yang merendahkan wanita itu, juga sering
menisbatkan kepada perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa
"Wanita itu jelek segala-galanya, dan segala kejelekan
itu berpangkal dari wanita."

Perkataan ini tidak dapat diterima sama sekali; ia
bukan dari logika Islam, dan bukan dari nash.1
Bagaimana bisa terjadi diskriminasi seperti itu,
sedangkan Al-Qur'an selalu menyejajarkan muslim dengan
muslimah, wanita beriman dengan laki-laki beriman,
wanita yang taat dengan laki-laki yang taat, dan
seterusnya, sebagaimana disinyalir dalam Kitab Allah.
Mereka juga mengatakan bahwa suara wanita itu aurat,
karenanya tidak boleh wanita berkata-kata kepada
laki-laki selain suami atau mahramnya. Sebab, suara
dengan tabiatnya yang merdu dapat menimbulkan fitnah
dan membangkitkan syahwat.

Ketika kami tanyakan dalil yang dapat dijadikan acuan
dan sandaran, mereka tidak dapat menunjukkannya.
Apakah mereka tidak tahu bahwa Al-Qur'an memperbolehkan
laki-laki bertanya kepada isteri-isteri Nabi saw. dari
balik tabir? Bukankah isteri-isteri Nabi itu
mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat
daripada istri-istri yang lain, sehingga ada beberapa
perkara yang diharamkan kepada mereka yang tidak
diharamkan kepada selain mereka? Namun demikian, Allah
berfirman:

"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir
..."(al-Ahzab: 53)

Permintaan atau pertanyaan (dari para sahabat) itu
sudah tentu memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin
(ibunya kaum mukmin: istri-istri Nabi). Mereka biasa
memberi fatwa kepada orang yang meminta fatwa kepada
mereka, dan meriwayatkan hadits-hadits bagi orang yang
ingin mengambil hadits mereka.

Pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi saw.
dihadapan kaum laki-laki. Ia tidak merasa keberatan
melakukan hal itu, dan Nabi pun tidak melarangnya. Dan
pernah ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar
ketika Umar sedang berpidato di atas mimbar. Atas
sanggahan itu, Umar tidak mengingkarinya, bahkan ia
mengakui kebenaran wanita tersebut dan mengakui
kesalahannya sendiri seraya berkata, "Semua orang
(bisa) lebih mengerti daripada Umar."
Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri seorang
syekh yang sudah tua (Nabi Syu'aib; ed.) yang berkata
kepada Musa, sebagai dikisahkan dalam Al-Qur'an:

"... Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia
memberi balasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum
(ternak) kami ..." (al-Qashash: 25)

Sebelum itu, wanita tersebut dan saudara perempuannya
juga berkata kepada Musa ketika Musa bertanya kepada
mereka:

"... Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)? Kedua
wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumkan
(ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu
memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah
orang tua yang telah lanjut usianya." (al-Qashash: 23)

Selanjutnya, Al-Qur'an juga menceritakan kepada kita
percakapan yang terjadi antara Nabi Sulaiman a.s.
dengan Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu dengan
kaumnya yang laki-laki.

Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum
kita menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak
menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.
Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan
untuk menarik laki-laki, yang oleh Al-Qur'an
diistilahkan dengan al-khudhu bil-qaul
(tunduk/lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah:

"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti
wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah
kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)

Allah melarang khudhu, yakni cara bicara yang bisa
membangkitkan nafsu orang-orang yang hatinya
"berpenyakit." Namun, dengan ini bukan berarti Allah
melarang semua pembicaraan wanita dengan setiap
laki-laki. Perhatikan ujung ayat dari surat di atas:

"Dan ucapkanlah perkataan yang baik"

Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami
hadits dengan salah. Hadits-hadits yang mereka
sampaikan antara lain yang diriwayatkan Imam Bukhari
bahwa Nabi saw. bersabda:

"Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang
lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah)
wanita."

Mereka telah salah paham. Kata fitnah dalam hadits
diatas mereka artikan dengan "wanita itu jelek dan
merupakan azab, ancaman, atau musibah yang ditimpakan
manusia seperti ditimpa kemiskinan, penyakit,
kelaparan, dan ketakutan." Mereka melupakan suatu
masalah yang penting, yaitu bahwa manusia difitnah
(diuji) dengan kenikmatan lebih banyak daripada diuji
dengan musibah. Allah berfirman:

"... Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) ...."
(al-Anbiya: 35)

Al-Qur'an juga menyebutkan harta dan anak-anak - yang
merupakan kenikmatan hidup dunia dan perhiasannya -
sebagai fitnah yang harus diwaspadai, sebagaimana
firman Allah:

"Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu)..." (at-Taghabun: 15)

"Dan ketabuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu
hanyalah sebagai cobaan ..." (al-Anfal: 28)

Fitnah harta dan anak-anak itu ialah kadang-kadang
harta atau anak-anak melalaikan manusia dari kewajiban
kepada Tuhannya dan melupakan akhirat. Dalam hal ini
Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu
dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah
orang-orang yang rugi." (al-Munaafiqun: 9)

Sebagaimana dikhawatirkan manusia akan terfitnah oleh
harta dan anak-anak, mereka pun dikhawatirkan terfitnah
oleh wanita, terfitnah oleh istri-istri mereka yang
menghambat dan menghalangi mereka dari perjuangan, dan
menyibukkan mereka dengan kepentingan-kepentingan
khusus (pribadi/keluarga) dan melalaikan mereka dari
kepentingan-kepentingan umum. Mengenai hal ini
Al-Qur'an memperingatkan:

"Hai orang-orang beriman, sesungguhnya diantara
istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka ..."
(at-Taghabun: 14)

Wanita-wanita itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi
alat untuk membangkitkan nafsu dan syahwat serta
menyalakan api keinginan dalam hati kaum laki-laki. Ini
merupakan bahaya sangat besar yang dikhawatirkan dapat
menghancurkan akhlak, mengotori harga diri, dan
menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak.
Peringatan untuk berhati-hati terhadap wanita disini
seperti peringatan untuk berhati-hati terhadap
kenikmatan harta, kemakmuran, dan kesenangan hidup,
sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih:

"Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku takutkan atas
kamu, tetapi yang aku takutkan ialah dilimpahkan
(kekayaan) dunia untuk kamu sebagaimana dilimpahkan
untuk orang-orang sebelum kamu, lantas kamu
memperebutkannya sebagaimana mereka dahulu
berlomba-lomba memperebutkannya, lantas kamu binasa
karenanya sebagaimana mereka dahulu binasa karenanya."
(Muttafaq alaih dari hadits Amr bin Auf al-Anshari)

Dari hadits ini tidak berarti bahwa Rasulullah saw.
hendak menyebarkan kemiskinan, tetapi beliau justru
memohon perlindungan kepada Allah dari kemiskinan itu,
dan mendampingkan kemiskinan dengan kekafiran. Juga
tidak berarti bahwa beliau tidak menyukai umatnya
mendapatkan kelimpahan dan kemakmuran harta, karena
beliau sendiri pernah bersabda:

"Bagus nian harta yang baik bagi orang yang baik" (HR.
Ahmad 4:197 dan 202, dan Hakim dalam al-Mustadrak 2:2,
dan Hakim mengesahkannya menurut syarat Muslim, dan
komentar Hakim ini disetujui oleh adz-Dzahabi)

Dengan hadits diatas, Rasulullah saw. hanya menyalakan
lampu merah bagi pribadi dan masyarakat muslim di jalan
(kehidupan) yang licin dan berbahaya agar kaki mereka
tidak terpeleset dan terjatuh ke dalam jurang tanpa
mereka sadari.

sumber: http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/SuaraWanita.html

thanks for everything... 



Share:

Mendidik Anak ala Nabi SAW


“Kebanyakan orang belum menyadari bahwa anak-anak adalah salah satu unsur umat ini. Hanya saja dia bersembunyi dibalik tabir kekanak-kanakannya. Apabila kita singkapkan tabir itu, pasti kita temukan dia berdiri sebagai salah satu tiang penyangga bangunan umat ini. Akan tetapi, ketentuan Allah pasti berjalan, yaitu bahwa tabir tersebut tidak akan tersingkap selain dengan bimbingan dan pendidikan secara berkala, sedikit demi sedikit. Oleh karena itu, harus dilakukan dengan perencanaan yang matang dan bertahap.”
-Syekh Muhammad Al-Khidr Husain rahimahullah.-

                Banyak orangtua yang mendambakan kehadiran anak yang sholeh dan sholehah dalam hidupnya. Tentu saja hal itu tidak terlepas dari pola pendidikan yang mereka ajarkan terhadap anak-anak mereka. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, seorang ulama besar islam berkata, “barang siapa yang dengan sengaja tidak mengajarkan apa yang bermanfaat bagi anak-anaknya dan meninggalkannya begitu saja, berarti dia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar. Kerusakan pada diri anak kebanyakan datang dari sisi orangtua yang meninggalkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dalam agama berikut sunnah-sunnahnya.”  Seorang pendidik, terutama orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam mendidik anak-anaknya. Lantas, pola pendidikan seperti apakah yang harus diajarkan para orang tua kepada anak-anaknya? Yang pasti adalah pola pendidikan yang sudah diajarkan oleh Nabi SAW. Karena beliaulah sebaik-baik suri teladan bagi para ummatnya. Rasulullah SAW mengajarkan kepada para orangtua bagaimana cara mendidik anak sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan As-Sunnah.
Nabi SAW memerintahkan kepada para orangtua agar selalu menampilkan suri teladan yang baik. Suri teladan yang baik memiliki dampak yang besar pada kepribadian anak. Sebab, mayoritas yang ditiru anak berasal dari kedua orangtuanya. Bahkan, dipastikan pengaruh paling dominan berasal dari kedua orangtuanya. Kedua orangtua selalu dituntut untuk menjadi suri teladan yang baik. Karena seorang anak yang berada dalam masa pertumbuhan selalu memerhatikan sikap dan ucapan kedua orangtuanya. Dia juga bertanya tentang sebab mereka berlaku demikian. Apabila baik, maka akan baik juga akibatnya. Kedua orangtua dituntut untuk mengerjakan perintah-perintah Allah SWT dan sunnah Rasul-Nya SAW dalam sikap dan perilaku selama itu memungkinkan bagi mereka untuk mengerjakannya. Sebab, anak-anak mereka selalu memerhatikan gerak-gerik mereka setiap saat.
“Kemampuan seorang anak untuk mengingat dan mengerti akan segala hal sangat besar sekali. Bahkan, bisa jadi lebih besar dari yang kita kira. Sementara, sering kali kita melihat anak sebagai makhluk kecil yang tidak bisa mengerti atau mengingat.” [Manhaj At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah (2/117) karya Muhammad Quthb].

Semoga bermanfaat…

Share:

Minggu, 29 Desember 2019

Ikhlas dalam berdakwah

Dalam kehidupan ini, adakalanya manusia terjatuh sampai pada tingkatan yang terendah, disebabkan ketidakmauan dan ketidakmampuannya mengoptimalkan segala potensi yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepadanya. Sebaliknya, ketika potensi yang dimiliki mampu dioptimalkan, manusia mampu mencapai kedudukan yang tinggi, bahkan melebihi derajat para malaikat. Karenanya setiap upaya mengingatkan, selalu ada potensi ketidaksempurnaan. Terutama, ketika Kita tidak memerhatikan secara detail sisi-sisi kelebihan dan kekurangan yang dimiliki setiap manusia. Islam memandang manusia sebagai satu kesatuan yang utuh. Sedikit pun Islam tidak pernah mengotak-ngotakkan sisi-sisi manusia, siapa pun ia. Sisi negatif manusia, Islam dekati dengan cara memberi larangan dan ancaman, sementara sisi positif Islam dorong dengan beragam anjuran dan dorongan. Oleh karena itulah, dalam Islam terdapat ajaran al-Khauf (rasa takut akan ancaman) dan al-Raja' (berharap mendapat semua kebaikan), juga konsep surga (sebagai balasan apabila manusia mau melakukan setiap anjuran ajaran Islam) dan neraka (sebagai balasan apabila manusia terjerumus kepada setiap larangan ajaran Islam).

Ikhlas berdakwah tanpa pamrih adalah jalan yang harus ditempuh seorang pendakwah. Karena, ia bertugas menyampaikan sesuatu yang benar, sehingga ia harus melakukannya dengan ikhlas dan jujur. Jika seorang da'i tidak mempunyai qalbu yang ikhlas dan jujur, maka dakwah yang ia sampaikan tidak akan berguna sedikit pun bagi para pendengarnya. Setiap da'i hendaknya merasa khawatir kalau dakwahnya tidak diiringi sikap ikhlas, seperti pada saat ia sempat berharap imbalan atau pujian dari objek dakwahnya. Ketika seorang da'i telah berharap mendapat imbalan dari tugas dakwahnya, maka keikhlasannya akan hilang. Tentang masalah ini, Al-Qur'an telah menyebutkan sebagai berikut, “Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepada kalian atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam,” (QS al-Syu'arâ' [26]: 109).

Para da'i adalah orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak para Nabi serta Rasul. Khususnya, pada masa belakangan ini seorang da'i harus mengisi sanubari, akal, dan pandangan hidupnya dengan semua tuntunan Al-Qur'an. Kalau tidak, maka orang lain akan menuduh mereka sebagai orang-orang yang suka berbohong. Sebab, mereka menjadikan dakwah dan agamanya hanya sebagai sarana untuk mencari uang semata. Oleh karena itu, mereka tidak perlu dipercaya, baik perilaku maupun tutur kata yang mereka sampaikan.

Sebenarnya jika para da'i hanya menjadikan dakwah mereka sebagai sarana untuk mencari kekayaan, maka dakwah yang dilakukan tidak akan menyentuh lubuk sanubari para pendengar. Sebab, mereka mengetahui bahwa yang disebarkan melalui dakwah dimaksud hanyalah suatu kebohongan belaka.
Namun demikian, masih ada juga sejumlah da'i yang berdakwah dengan ikhlas. Mereka berjuang mati-matian untuk menciptakan kebahagiaan hidup orang lain. Merekalah orang-orang yang berjuang dengan ikhlas karena Allah semata. Mayoritas mereka hidup sederhana, bahkan tidak mempunyai harta yang cukup untuk membeli kain kafan sendiri. Menurut hemat Saya, para da'i yang seperti itulah yang diharapkan oleh masyarakat Islam dewasa ini, karena mereka adalah pewaris para Nabi serta Rasul.

sumber: Fethullah Gulen, Dakwah Jalan Terbaik Dalam Berpikir dan Menyikapi Hidup
Share: